Sekolah Jurnalisme Gagal Membaca Zaman: Jurnalis Muda Harus Belajar di TikTok, Bukan di Ruang Kelas

Sekolah Jurnalisme Gagal Membaca Zaman: Jurnalis Muda Harus Belajar di TikTok, Bukan di Ruang Kelas
MAKLUMAT“Ketika saya kuliah jurnalisme, kami diajari televisi. Tapi teman-teman saya bahkan tidak menonton TV.”
— Carmela Boykin, The Washington Post, di Global Media Forum 2025.
Kalimat itu terdengar seperti sindiran halus, tapi sesungguhnya adalah tamparan telak bagi institusi pendidikan jurnalisme di seluruh dunia.
Di saat dunia bergerak cepat ke arah digital, vertikal video, dan algoritma, banyak sekolah jurnalisme masih terjebak dalam romantisme masa lalu—mengajari mahasiswa untuk menjadi pembaca berita TV atau penulis artikel panjang, sementara audiens telah bermigrasi ke TikTok dan Instagram Reels.
Pertanyaannya kini bukan lagi “siapa yang akan meliput?” tapi “siapa yang bisa membuat berita berdampak di layar ponsel dalam waktu 30 detik?” Dan jawabannya, sayangnya, jarang ditemukan di kampus.

Kurikulum Usang untuk Dunia yang Sudah Mati

Banyak sekolah jurnalisme masih membanggakan mata kuliah seperti “Etika Siaran TV”, “Penulisan Hard News”, atau “Teknik Reportase Cetak”. Padahal:
– Generasi Z bahkan tidak menyalakan televisi.
– Surat kabar bukan hanya menurun, tapi hampir punah dalam konteks konsumsi harian.
– Mahasiswa jurnalisme tidak pernah diajari membuat konten yang bisa “nangkring” di FYP TikTok.
Carmela mengaku, saat ia bertanya kepada dosennya tentang masa depan televisi, jawaban yang ia dapat adalah dogma—bukan visi. “TV akan selalu ada,” katanya. Realitanya? Audiensnya sudah pergi, dan kampus tidak ikut berpindah.

Belajar dari Google dan Algoritma, Bukan dari Profesor

Jurnalis-jurnalis muda hari ini belajar dengan cara yang menyakitkan tapi nyata: “Saya belajar edit di Premiere Pro dari Googling. Belajar bikin TikTok dari coba-coba. Pertama kali menulis artikel? Saya harus tanya teman senior lewat DM.”
Itu bukan kutipan dari blog anak magang. Itu kesaksian Carmela Boykin, jurnalis muda dari institusi besar: The Washington Post. Artinya jelas: kesenjangan antara ruang kuliah dan ruang kerja makin melebar. Mahasiswa jurnalisme tidak sedang dipersiapkan untuk dunia yang akan mereka masuki—mereka justru harus “mendidik diri sendiri” saat sudah berada di medan tempur.

Sekolah Jurnalisme Harus Diretas

Apakah sekolah jurnalisme tidak lagi penting? Tentu masih bisa penting. Tapi hanya jika mereka berani diretas ulang secara radikal:
– Mengganti studio TV dengan studio konten vertikal.
– Mengganti ujian teori etika dengan simulasi manajemen krisis di media sosial.
– Mengganti tugas menulis artikel dengan tantangan membuat utas X, reel Instagram, dan TikTok edukatif dalam 1 jam.
– Mengganti “pengajar karier” dengan praktisi lapangan yang memahami medan pertempuran digital secara langsung.

Jangan Ciptakan Lulusan Hebat yang Tak Dibutuhkan

Saat ini, sekolah jurnalisme lebih sering menciptakan lulusan yang hebat secara teknis, tapi tak dibutuhkan secara praktis. Mereka bisa menulis berita dengan struktur piramida terbalik, tapi tidak bisa membuat berita itu dibaca. Mereka tahu teori gatekeeping, tapi tidak tahu cara kerja algoritma TikTok.
Dan lebih parah lagi, mereka dipaksa merasa gagal—padahal justru sistem pendidikannya yang gagal mengantisipasi zaman.

Jika Tak Bisa Mengikuti Zaman, Biarkan Mahasiswa Meninggalkannya

Sekolah jurnalisme bisa terus bersikeras mempertahankan model lama. Tapi mereka harus siap ditinggalkan. Karena para calon jurnalis yang cerdas dan kritis akan belajar dari tempat lain: YouTube, TikTok, Twitter/X, komunitas kreator, bahkan dari ruang komentar. Atau lebih tepatnya: dari kenyataan.
Carmela Boykin bukan anomali. Ia adalah wajah baru jurnalisme. Dan jika kampus tak mampu mempersiapkan wajah-wajah seperti itu, maka mungkin sudah waktunya kita mempersiapkan jurnalisme tanpa kampus.
Baca Juga  Mbah Trimo, Marbot, dan Crazy Rich yang Dermawan
*) Penulis: Ismail Fahmi
Pendiri Drone Emprit

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *