Sektor Pertanian Pengaruhi Maraknya Beras Oplosan, Pakar: Penting Kenali Perbedaan Kualitasnya

Sektor Pertanian Pengaruhi Maraknya Beras Oplosan, Pakar: Penting Kenali Perbedaan Kualitasnya

MAKLUMAT — Kasus beras oplosan yang kian meresahkan masyarakat tak hanya soal permainan di tingkat distributor, tetapi juga bermula dari hulu, yakni di sektor pertanian itu sendiri, yang menentukan kualitas atau mutu beras.

Menurut pakar pertanian dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Intan Rohma Nurmalasari SP MTP, mutu beras yang diproduksi oleh para petani dipengaruhi oleh setidaknya tiga faktor utama.

“Mutu beras yang dihasilkan petani sangat dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu kondisi lahan, varietas padi yang digunakan, dan praktik budidaya yang diterapkan,” ujarnya, Kamis (31/7/2025).

Intan menyebut, ketiga faktor tersebut saling berkaitan erat dan menentukan kualitas akhir dari beras yang sampai ke tangan konsumen.

Akar Masalah Kualitas Beras

Pakar Pertanian dari Umsida, Intan Rohma Nurmalasari SP MTP. (Foto: Humas Umsida)
Pakar Pertanian dari Umsida, Intan Rohma Nurmalasari SP MTP. (Foto: Humas Umsida)

Pertama, kondisi lahan menjadi fondasi utama produktivitas dan kualitas gabah.

“Lahan yang subur, memiliki kandungan unsur hara yang seimbang, serta sistem irigasi yang baik akan mendukung pertumbuhan tanaman padi secara optimal,” kata Intan.

Sebaliknya, lahan yang kurang unsur hara, terlalu asam, atau mengalami kekeringan maupun genangan berlebih bisa menyebabkan bulir padi tidak terisi sempurna. Hal ini membuatnya mudah pecah saat digiling dan menurunkan nilai gizi beras.

Kedua, perempuan yang juga menjabat Ketua Pusat Studi SDGs Umsida itu menyebut bahwa pemilihan varietas padi sangat menentukan karakteristik beras.

Baca Juga  Pakar Umsida Soroti Konsesi Hutan 4,82 Juta Hektare: Jangan Abaikan Dampak Lingkungan dan Sosial

“Varietas unggul seperti Inpari, Ciherang, atau Pandan Wangi memiliki mutu fisik dan rasa yang lebih baik dibanding varietas lokal yang belum diseleksi,” terangnya.

Namun demikian, pemilihan varietas tetap harus disesuaikan dengan kondisi agroekologi setempat agar potensi hasil maksimal bisa dicapai.

Ketiga, praktik budidaya yang tepat, seperti penggunaan benih bermutu, pemupukan berimbang, pengendalian hama terpadu, serta panen dan pascapanen yang tepat waktu—akan sangat memengaruhi mutu gabah dan hasil akhir beras.

Kkesalahan dalam budidaya, lanjut Intan, seperti panen yang terlalu awal atau keterlambatan pengeringan, dapat menyebabkan kadar air tinggi dan menurunkan kualitas beras, termasuk menyebabkan mudah rusak saat penyimpanan.

“Dengan demikian, peningkatan mutu beras tidak bisa hanya bergantung pada satu aspek saja. Diperlukan pendekatan menyeluruh agar petani mampu menghasilkan beras berkualitas tinggi dan bernilai jual lebih baik,” jelasnya.

Mencegah Beras Berkualitas Jatuh ke Pengoplos

Untuk mencegah beras berkualitas tinggi dicampur atau dioplos, Intan menyarankan sejumlah langkah nyata bagi petani dan pengelola pascapanen.

Pertama, penerapan sistem traceability (penelusuran asal) sangat penting.

“Petani dan pengelola pascapanen bisa mencantumkan informasi asal-usul, varietas, dan proses pengolahan agar konsumen bisa lebih percaya pada kualitas beras yang mereka beli,” sebutnya.

Kedua, kemasan yang baik dan berlabel resmi harus menjadi perhatian.

“Dengan mengemas beras dalam karung atau plastik bermerek dan tersegel, produk akan lebih sulit dimanipulasi oleh pihak tak bertanggung jawab,” tambah dosen pakar budidaya pertanian dan lingkungan itu.

Baca Juga  Siap Gelar PSU Pilkada Magetan Tanggal 22 Maret, KPU: Diikuti Semua Paslon

Ketiga, membangun kemitraan langsung dengan konsumen atau toko bahan pangan sehat juga menjadi strategi memotong rantai distribusi yang rentan manipulasi.

Lembaga petani seperti koperasi pun dinilai krusial untuk menjaga kontrol atas kualitas dan distribusi yang lebih terorganisir.

Mengenali Perbedaan Kualitas Beras

Lebih jauh, Intan menekankan pentingnya untuk mengenali dan memahami perbedaan kualitas beras, mulai dari yang berkualitas baik alias premium, hingga beras-beras afkiran yang tak layak dikonsumsi manusia.

Ia menjelaskan, perbedaan utama antara beras berkualitas baik, sedang, dan afkiran terletak pada kebersihan, keutuhan butir, aroma, kadar air, dan patahan beras.

“Beras kualitas baik umumnya memiliki ciri fisik yang bersih, mengkilap, butiran utuh dan seragam, tidak tercampur dengan menir (butiran patah), bebas dari kutu, jamur, atau benda asing,” jelasnya.

Selain itu, beras berkualitas baik kadar airnya terjaga, yakni sekitar 14%, menghasilkan nasi yang pulen, harum, dan tahan lama setelah dimasak.

Sementara itu, beras dengan kualitas sedang, menurut Intan, biasanya tercampur antara butir-butir beras yang utuh dan patah.

“Mutunya lebih rendah dari beras premium, namun masih bisa menghasilkan nasi yang layak dikonsumsi,” kata Intan.

Harga beras sedang juga lebih terjangkau, sehingga banyak dikonsumsi oleh masyarakat luas.

Sedangkan beras afkiran umumnya mengandung menir, patahan kecil, banyak kotoran seperti kulit padi, batu kecil, atau dedak, berbau apek, dan terkadang juga sudah terkontaminasi kutu atau jamur.

Baca Juga  Kereta Hidrogen dari China Disiapkan Jadi Solusi Masa Depan Logistik Dunia

Beras afkiran ini, umumnya tidak layak dikonsumsi oleh manusia, melainkan dimanfaatkan sebagai pakan ternak.

“Beras jenis ini seringkali tidak layak untuk konsumsi manusia dan hanya dijadikan pakan ternak atau bahan campuran industri non-pangan,” imbuh dosen lulusan Magister Pertanian di Universitas Sebelas Maret (UNS) itu.

Dengan memahami perbedaan ini, Intan berharap konsumen dapat lebih bijak dalam memilih beras yang sesuai kebutuhan dan memastikan bahwa beras berkualitas tinggi tidak dicampurkan dengan beras afkiran di pasaran.

*) Penulis: Romadhona S / Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *