MAKLUMAT – Krisis iklim sudah tidak lagi menjadi ancaman jauh. Udara kian sesak, air semakin langka, dan bencana datang tanpa jeda. Realitas ini menegaskan, umat manusia tidak bisa berjalan sendiri. Semua lapisan masyarakat, termasuk pemimpin lintas agama, perlu bersatu menggerakkan nurani dan aksi nyata demi bumi sebagai rumah bersama.
GreenFaith Indonesia bersama 350 Indonesia menggelar Diskusi Publik Lintas Iman lewat Instagram Live bertajuk “Reorientasi Transisi Energi Berkeadilan Menuju COP30”, Kamis (18/9/2025). Tiga tokoh lintas iman hadir sebagai narasumber, yakni Hening Parlan (Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia), Dr. Li. Edi Ramawijaya Putra (Ketua STAB Negeri Sriwijaya Tangerang), dan Romo Charles Lamaberaf, SVD., M.Sc. (Dosen Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, NTT). Diskusi selama satu jam itu dipandu Sukowati Utami, Pemimpin Redaksi Hukamanews.com.
Krisis Iklim Jadi Persoalan Moral
Hening Parlan menegaskan krisis iklim bukan isu teknis, melainkan persoalan moral dan kemanusiaan. Ia memperkenalkan gagasan Fikih Transisi Energi Berkeadilan yang baru terbit dalam bentuk buku.
“Energi yang kita gunakan mayoritas masih berbasis fosil seperti batubara dan minyak bumi. Itu terbatas sekaligus merusak lingkungan. Dari perspektif Islam, kalau ada kerusakan kita wajib bertobat dan memperbaikinya. Artinya, kita harus bertransisi ke energi matahari, angin, dan air, yang saya sebut energi surga,” ucap Hening.
Ia mengingatkan transisi energi tidak boleh berhenti di ruang rapat para elite. “Transisi harus berpihak pada rakyat kecil. Mereka yang menyuplai kebutuhan energi justru paling banyak menanggung dampaknya,” tambahnya.
Dr. Edi Ramawijaya sependapat. Menurutnya, agama tidak boleh berhenti pada diskursus teologi, tetapi wajib menyentuh kehidupan nyata. “Agama bisa mendorong kebiasaan kecil yang konsisten—atomic habit—yang berdampak besar bagi keadilan iklim. Energi adalah hak dasar semua orang tanpa memandang strata sosial,” tegasnya.
Ia mengingatkan, bila tata kelola energi hanya berorientasi pada keuntungan, masyarakat adat, petani, dan nelayan akan selalu menjadi korban.
Sementara itu, Romo Charles menyoroti ketidakadilan yang kerap menyertai proyek energi terbarukan skala besar. Ia mencontohkan penolakan masyarakat adat terhadap proyek geotermal di Flores.
“Energi terbarukan memang penting. Tapi kalau prosesnya tidak adil sejak awal, ia hanya melahirkan luka baru. Gereja berdiri bersama masyarakat adat, karena mereka yang paling menanggung biaya transisi energi,” ujarnya.
Menurut Romo Charles, ada tiga tantangan utama dalam transisi energi: kerusakan wilayah adat, proses yang tidak transparan, dan ketimpangan global di mana rakyat kecil menanggung beban, sementara negara maju menikmati manfaat.
Menuju COP30: Dari Spiritualitas ke Aksi Nyata
Diskusi lintas iman itu juga menegaskan pentingnya momentum COP30 di Belem, Brasil, 10–21 November 2025. Masyarakat sipil, termasuk pemimpin lintas agama, perlu bersuara lebih lantang.
Para narasumber merumuskan lima pesan moral menuju COP30:
-
Demokrasi sebagai dasar aksi iklim – keputusan iklim harus melibatkan semua lapisan masyarakat.
-
Inklusivitas nyata – suara perempuan, pemuda, dan komunitas adat harus menjadi pusat kebijakan.
-
Menetapkan batas (Draw the Line) – berani menolak proyek energi yang merusak ekologi dan keadilan sosial.
-
Spiritualitas aksi – iman diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan sekadar wacana.
-
Aksi kolektif global – kerja sama lintas iman memperkuat tekanan moral agar keadilan iklim jadi prioritas dunia.
“Kalau agama menjadi kekuatan moral, maka ia juga harus menjadi kekuatan sosial,” tegas Romo Charles. Dr. Edi menambahkan, tanpa memasukkan perspektif lingkungan ke dalam kurikulum pendidikan, Indonesia hanya akan menuju “Indonesia Cemas 2045”, bukan “Indonesia Emas 2045”.
Diskusi ditutup dengan pernyataan bersama: krisis iklim adalah tanggung jawab moral umat beragama. Spiritualitas wajib diterjemahkan menjadi aksi nyata—menolak proyek energi yang tidak adil, memperkuat literasi ekologi, dan mendorong kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil.
“Iman kita menuntun kita untuk melindungi bumi dan semua makhluk. Draw the Line adalah bentuk keberanian spiritual itu,” pungkas Hening Parlan.***