
MAKLUMAT — Polemik seputar musikalisasi hingga aksi joget dalam lantunan shalawat sambil joget-joget belakangan menjadi sorotan publik. Bagi sebagian anak muda, ekspresi seperti ini dianggap sebagai bentuk cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Namun, tak sedikit pula yang menilai hal itu berlebihan dan mencederai makna shalawat sebagai ibadah.
Isu ini mencuat dalam Pengajian Tarjih PP Muhammadiyah pada Rabu (16/4), yang turut menghadirkan anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Wawan Gunawan Abdul Wahid.
@pinkyboy198 pemuda suka sholawat #fyp #sholawat #santri #santriputri ♬ suara asli – FKY
Dalam kajiannya, Ajengan Wawan menekankan bahwa shalawat adalah amalan suci yang diperintahkan langsung oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia mengutip Surah Al-Ahzab ayat 56 sebagai landasan:
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.”
Ajengan Wawan juga mengingatkan hadis Nabi Muhammad SAW:
“Barang siapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.”
Dari Hati, Bukan Sekadar Tren
Dalam kesempatan itu, Ajengan Wawan mengisahkan pengalaman pribadinya. Ia mengaku sering tersentuh saat mendengar lantunan shalawat yang dibawakan dalam berbagai format kekinian. Bahkan, ia menyebut kadang air mata mengalir saat mendengar shalawat yang mengingatkan pada sosok orang tua dan terutama Rasulullah SAW.
“Musikalisasi shalawat sekarang begitu masif. Saya sendiri kadang ikut terbawa suasana. Apalagi kalau lantunannya mengingatkan kita pada kisah Nabi seperti dalam buku Sirah Nabawiyah karya Martin Lings. Bisa bikin menangis,” ujarnya haru.
Menurutnya, kreativitas dalam menyampaikan shalawat boleh saja, selama tidak keluar dari nilai-nilai ibadah. Musik, kata dia, bisa jadi sarana untuk mendekatkan diri pada Allah dan Rasul-Nya, selama membawa kekhusyukan dan tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan syariat.
Boleh, Tapi Jangan Kebablasan
Meski terbuka terhadap inovasi, Ajengan Wawan mengingatkan pentingnya menjaga batas. Menurutnya, penggunaan musik dalam shalawat dibolehkan selama tidak disertai hal-hal yang menyimpang.
“Kalau sudah disertai ikhtilath (campur baur laki-laki dan perempuan tanpa batas) atau joget yang tidak pantas, tentu itu tidak dibenarkan. Shalawat itu suci, jangan sampai ternodai oleh aksi-aksi yang menjauhkan dari syariat,” tegasnya.
Ia mencontohkan konsep sadd adz-dzari’ah, yaitu prinsip menutup celah keburukan. Jika musik atau gerakan dalam shalawat berpotensi mengarah pada kemaksiatan, maka hal itu harus dicegah. Ia mengingatkan bahwa hukum asal shalawat adalah boleh, tapi bisa berubah menjadi tidak boleh jika dilakukan dengan cara yang melanggar.
Ajengan Wawan juga membandingkan hal ini dengan praktik ziarah kubur yang pada dasarnya diperbolehkan, namun bisa menjadi terlarang jika disertai perilaku yang mendekati syirik atau bid’ah.
Menjaga Ruh Ibadah
Kontroversi soal joget dalam shalawat ini menurut Ajengan Wawan adalah cerminan dari dinamika dakwah Islam di era sekarang. Generasi muda membutuhkan pendekatan kreatif, namun nilai-nilai ibadah tetap harus dijaga.
“Shalawat itu ekspresi cinta kepada Nabi. Tapi jangan sampai bentuk cinta itu justru menjauhkan dari ajaran Islam,” tandasnya.
Muhammadiyah, lanjut dia, tidak pernah melarang shalawat. Yang ditekankan adalah menjaga kesesuaiannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah, agar tetap menjadi jalan menuju cinta kepada Rasulullah, bukan sebaliknya.