MAKLUMAT — Pada lembaran uang dua puluh ribu rupiah yang beredar selama hampir dua dekade, ada wajah seorang pria dengan tatapan tegas. Namanya diabadikan menjadi ruas jalan sibuk di Jakarta dan Bandung — Otista, singkatan dari Otto Iskandardinata. Namun, siapa sebenarnya pria ini? Apa kisahnya, hingga ia diberi tempat istimewa dalam sejarah bangsa?
Raden Otto Iskandardinata lahir di Bojongsoang, Kabupaten Bandung, pada 31 Maret 1897. Laman Muhammadiyah menyebut Raden Otto tumbuh dalam keluarga bangsawan Sunda, keturunan Nataatmadja, dengan ayah bernama Haji Rachmat Adam. Kehidupan bangsawan membuka jalan bagi Otto untuk mengenyam pendidikan terbaik di zamannya.
Setelah menamatkan pendidikan dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Bandung, Otto melanjutkan ke Kweekschool Onderbouw di Bandung, sebelum pindah ke Hogere Kweekschool di Purworejo, Jawa Tengah. Di sana, ia belajar menjadi guru. Otto sempat mengajar di HIS Banjarnegara, mengawali perjuangannya melalui pendidikan. Baginya, kemerdekaan hanya bisa diraih oleh bangsa yang berilmu.
Pada Juli 1920, Otto kembali ke Bandung. Ia menjadi guru di HIS dan Perguruan Rakyat, sambil aktif di organisasi Budi Utomo. Sikapnya yang lantang melawan diskriminasi membuatnya mendapat julukan “Si Jalak Harupat” — ayam jantan pemberani, simbol keberanian dan ketegasan dalam budaya Sunda.
Membangun Bangsa Lewat Pendidikan dan Sepak Bola
Pergerakan Otto membawanya ke Pekalongan, di mana ia mendirikan Sekolah Kartini untuk perempuan pribumi. Langkah ini menuai simpati rakyat namun juga mengundang ancaman dari pemerintah kolonial.
Otto dipindahkan ke Batavia (Jakarta) pada 1928, tempat ia bergabung dengan Muhammadiyah dan mengajar di Algemene Middelbare School (AMS) Muhammadiyah di Jalan Kramat Raya 49. Di sekolah ini pula, Otto mengajak Djuanda Kartawidjaja — kelak menjadi Perdana Menteri terakhir Indonesia — bergabung sebagai guru.
Kecintaannya pada sepak bola menjadi jalan lain perjuangannya. Otto mengizinkan gedung AMS digunakan untuk mendirikan VIJ (Voetbalbond Indonesia Jacatra), cikal bakal Persija. Ia juga aktif mempromosikan PSSI melalui majalah olahraga, menyisipkan pesan-pesan nasionalisme di antara berita pertandingan.
Menyiapkan Kemerdekaan
Pada 1935, Otto terpilih menjadi anggota Volksraad (semacam DPR pada masa kolonial). Selama pendudukan Jepang, ia memimpin surat kabar Tjahaja untuk melawan propaganda penjajah. Setelah proklamasi kemerdekaan, Otto menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), Otto adalah orang pertama yang mengusulkan Soekarno sebagai presiden.
Sebagai Menteri Negara dalam kabinet pertama Indonesia, Otto bertugas menyatukan laskar-laskar rakyat ke dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Namun, tugas ini penuh risiko. Otto berhadapan dengan berbagai pihak yang berseberangan, termasuk fitnah kejam yang menuduhnya sebagai mata-mata Belanda.
Syahid di Pantai Mauk
Pada 19 Desember 1945, sore yang genting, Otto diculik oleh sekelompok pasukan berpakaian hitam dari Laskar Hitam. Mereka membawanya ke pantai Desa Ketapang, Mauk, Tangerang. Di sana, Otto disiksa dan dibunuh bersama seorang tawanan lain bernama Hasbi. Mayat mereka dilempar ke laut, tak pernah ditemukan. Hanya pasir dan air laut dari pantai itu yang diambil sebagai simbol tubuhnya untuk dimakamkan secara simbolis di Lembang, pada 21 Desember 1952.
Kematian Otto terjadi di tengah kekacauan awal kemerdekaan. Namun, warisannya hidup dalam nama-nama besar: Jalan Otista, Stadion Si Jalak Harupat di Bandung, dan perjuangan bangsa yang ia tinggalkan. Otto Iskandardinata diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada 6 November 1973. Di balik nyaringnya namanya, perjuangan Otto menyisakan cerita sunyi yang terus menggema bagi mereka yang mau mendengar.