30.1 C
Malang
Senin, April 14, 2025
KilasSilaturahmi Teuku Umar: Rujuk Sunyi di Tengah Badai Perang Dagang

Silaturahmi Teuku Umar: Rujuk Sunyi di Tengah Badai Perang Dagang

Pertemuan Megawati Prabowo
Ilustrasi pertemuan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Presiden Prabowo Subianto. Foto/Ilustrasi:ChatGPT

MAKLUMAT —  Udara Jakarta belum juga reda dari sisa-sisa keramaian mudik dan arus balik Lebaran. Namun ada sebuah peristiwa yang tak sekadar lebaran dan basa-basi.

Di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, pada Senin malam, 7 April 2025 bertepatan 7 Syawal 1446 hijriah, di rumah bercat putih dengan pagar besi yang tak pernah benar-benar sepi dari sejarah, dua tokoh besar bangsa bertemu.

Janur Kuning
Penulis: Edi Purwanto*

Presiden Prabowo Subianto, dan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, duduk berdampingan dalam suasana tak gamblang namun bisa diartikan secara lantang secara politik.

Pertemuan malam itu diumumkan oleh Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad. Ia menyebutnya sebagai silaturahmi Idulfitri. Tapi semua orang yang cukup lama mengikuti arus politik nasional paham: silaturahmi kadang hanyalah nama lain dari komunikasi strategis tingkat tinggi.

Dalam sebuah foto yang diunggah Dasco melalui akun media sosialnya, terlihat Prabowo mengenakan safari khasnya. Megawati, seperti biasa, tampil anggun dalam busana lengan panjang bermotif bunga.

Di bawahnya, Dasco menulis kalimat pendek: “7-4-2025, Alhamdulillah… Merajut kebersamaan Untuk Indonesia Kita,” lengkap dengan emotikon bendera merah putih. Sederhana. Tapi dalam politik, kesederhanaan bisa menyimpan banyak tafsir.

Dari Batu Tulis ke Teuku Umar

Hubungan Megawati dan Prabowo bukan kisah baru. Pada Pemilu Presiden 2009, mereka tampil sebagai pasangan calon: Megawati sebagai capres, Prabowo sebagai cawapres. Di balik kesepakatan itu, ada yang disebut sebagai Perjanjian Batu Tulis. Salah satu poinnya menyatakan bahwa Megawati akan mendukung pencalonan Prabowo sebagai presiden di 2014. Tapi sejarah berkata lain.

Pada 2014, PDI Perjuangan justru mengusung Joko Widodo sebagai calon presiden. Bagi kubu Gerindra, ini dianggap pelanggaran perjanjian. Sejak itu, hubungan Megawati dan Prabowo membeku, bahkan membatu. Periode 2014 hingga 2019 menjadi era ketegangan yang tak selalu tampak di layar, namun terasa di ruang-ruang politik nasional.

Namun politik Indonesia selalu cair. Prabowo masuk kabinet Jokowi di periode kedua. Sementara PDI Perjuangan tetap menjadi partai utama pendukung pemerintah. Tapi setelah Pemilu 2024, konstelasi berubah drastis: PDI Perjuangan memilih berada di luar pemerintahan, menjadikannya satu-satunya partai besar oposisi terhadap Presiden Prabowo yang akan dilantik Oktober mendatang.

Apa Makna Teuku Umar?

Pertemuan malam itu tak berlangsung lebih dari satu jam. Tak ada pernyataan resmi dari keduanya sesudah portemuan itu. Tapi diam kadang lebih mengandung makna dari pidato-pidato panjang. Ada yang menyebut ini awal dari rekonsiliasi. Yang lain membacanya sebagai langkah taktis Prabowo merangkul semua kekuatan nasional, termasuk lawan lama yang strategis.

Megawati juga bukan figur yang mudah didekati hanya untuk basa-basi. Setiap langkahnya punya kalkulasi sejarah. Prabowo juga tahu itu. Maka ketika keduanya kembali bertemu, tak perlu disambut gegap gempita. Politik tak selalu butuh tepuk tangan. Kadang, ia hanya butuh ruang tenang agar arah bisa kembali disepakati.

Keesokan hari, Guntur Romli, politisi PDI Perjuangan, mengatakan pertemuan itu adalah silaturahmi Idulfitri 1446 Hijriah. “Dalam pertemuan empat mata tersebut, Ibu Megawati dan Pak Prabowo banyak membicarakan hal-hal yang bersifat pribadi,” ujarnya. Pertemuan itu berlangsung sekitar satu setengah jam—panjang untuk dua orang tua yang saling mengenal diam masing-masing.

Guntur juga menyebut bahwa meski terkesan mendadak, sejatinya pertemuan itu telah lama direncanakan. Kesibukan dua tokoh itulah yang membuat pertemuan baru bisa terjadi sekarang. “Ibu Megawati merasa tidak punya hambatan untuk terus melakukan komunikasi dengan Presiden Prabowo, meski posisi PDI Perjuangan saat ini masih berada di luar pemerintahan,” tambahnya.

Momentum pertemuan Mega-Prabowo ini juga tepat. Ketika dunia diguncang oleh tarif tinggi ala Donald Trump, Indonesia pun merasakan getarnya. Bukan karena kita jadi sasaran langsung, tapi karena kita hidup dalam sistem global yang saling terkait. Rupiah sempat melemah hingga Rp17 ribu per 1 Dollar US, IHSG bergejolak, dan investor global menarik dananya dari pasar berkembang.

Di sektor riil, pabrik-pabrik dalam negeri yang bergantung pada bahan baku impor dari Tiongkok mulai terguncang. Efek domino dari terganggunya rantai pasok global—terutama di sektor elektronik, tekstil, hingga otomotif—tak bisa dihindari.

Tantangan itu kian terasa ketika harga komoditas ekspor utama Indonesia, seperti sawit, batubara, dan karet, ikut tertekan. Penurunan permintaan global terhadap barang setengah jadi membuat ekspor Indonesia terseok. Meski tidak jadi target utama tarif AS, posisi Indonesia sebagai bagian dari simpul rantai pasok Asia membuat dampaknya terasa nyata. Perang dagang itu, secara diam-diam, menjadi medan uji kekuatan ekonomi nasional.

Namun di tengah ketidakpastian itu, peluang pun menyelinap. Beberapa industri global mulai mengalihkan produksinya dari Tiongkok ke Asia Tenggara. Indonesia, bersama Vietnam dan Thailand, mulai diperhitungkan. Fenomena trade diversion ini membuka ruang bagi sektor-sektor seperti furnitur, alas kaki, dan tekstil untuk bangkit.

Bahkan, momentum ini mendorong wacana substitusi impor dan penguatan UMKM lokal. Di titik inilah, pertemuan Megawati dan Prabowo bisa dimaknai lebih jauh: sebagai sinyal bahwa di balik silaturahmi, ada kesadaran bersama tentang pentingnya stabilitas nasional di tengah badai global yang tak menentu.

Dalam dunia politik Indonesia, tak ada yang benar-benar lawan, tak pula sahabat abadi. Yang ada adalah kepentingan nasional—setidaknya dalam wacananya. Maka, kalau benar Prabowo dan Megawati tengah merajut kebersamaan di tengah badai perang dagang, bangsa ini punya alasan untuk mencatatnya dalam lintasan sejarah. Bukan hanya sebagai berita lebaran, tapi sebagai peristiwa politik yang bisa menentukan warna pemerintahan ke depan. Sebab di republik ini, sejarah sering dimulai dari ruang tamu yang tampak biasa-biasa saja.

*) Penulis adalah wartawan senior tinggal di Kota Blitar, Jawa Timur***

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

BACA JUGA ARTIKEL TERKAIT

ARTIKEL LAINNYA

Populer