MAKLUMAT — Muhammadiyah belum akan menggunakan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) dalam penetapan awal Bulan Ramadan dan Syawal (Hari Raya Idul Fitri) 1446 H atau 2025 Masehi, sebagaimana kesepakatan dalam Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih beberapa waktu lalu.
Hal itu juga diungkapkan oleh Ketua PP Muhammadiyah, Prof Dr Syamsul Anwar MA, ketika menjadi salah satu narasumber dalam Dialog Ideopolitor di UMY Student Dormitory, Senin (27/1/2025) lalu. “Yang sudah disepakati oleh Munas Tarjih nanti (KHGT) diberlakukannya belum tahun ini,” ujarnya, mengutip jaringan media afiliasi Jakartamu.
Menanggapi hal itu, Ketua Lajnah Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Ustaz Dr Zainuddin MZ Lc MA, mengakui bahwa sejak awal memang cukup sulit untuk bisa menerapkan KHGT, yang disebabkan sejumlah faktor dan ketentuan yang tak kunjung mencapai kesepakatan. Salah satunya terkait penggunaan matla’ (matlak) yang masih mengalami perbedaan.
“Sejak awal memang sulit, karena belum ada kesepakatan titik nol untuk kalender hijriyah, teman HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) selalu menawarkan matla’ internasional, sementara Muhammadiyah masih menggunaan matla’ lokal dengan konsep wujudul hilal,” ujarnya kepada Maklumat.ID, Rabu (5/2/2025).
“Semoga segera ada solusi yang terbaik,” imbuh Ustaz Zainuddin MZ.
Pria yang juga merupakan Direktur Turats Nabawi itu mengungkapkan bahwa penerapan KHGT dalam menentukan awal Ramadan dan Syawal 1446 H yang sudah sangat dekat agaknya sangat sulit. “Tampaknya begitu (sulit menerapkan KHGT tahun ini),” kata Ustaz Zainuddin MZ singkat.
Apa itu Matla’ ?
Sebagai informasi, matla’ adalah istilah dalam Bahasa Arab yang juga telah diserap dalam Bahasa Indonesia (matlak). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), matlak berarti daerah tempat terbit matahari, terbit fajar, atau terbit bulan. Dalam istilah falak, matla’ adalah batas geografis keberlakuan rukyat. Matla’ terbagi menjadi dua, yakni matla’ ikhtilāf atau lokal, serta matla’ ittihād atau global/internasional.
Matla’ lokal adalah tempat terbitnya hilal yang hanya bisa dilihat di wilayah tertentu. Konsep matla’ lokal digunakan oleh beberapa ormas keagamaan di Indonesia, termasuk Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Sementara itu, matla’ internasional atau global secara sederhana diartikan sebagai batas daerah di mana hilal terlihat di seluruh dunia.
Perbedaan Metode Pendekatan
Senada, sebelumnya Wakil Ketua PWM DKI Jakarta Dr Nurhadi MAg menyebut kemungkinan besar bahwa penerapan atau pemberlakuan KHGT bakal mengalami kemunduran lagi. Hal itu, menurutnya, lantaran terdapat perbedaan metode pendekatan antara KHGT dengan wujudul hilal yang selama ini dipakai Muhammadiyah.
Nurhadi menjelaskan, metode wujudul hilal yang selama ini digunakan Muhammadiyah relatif mengakomodasi metode burhani, bayani, dan irfani. “Kalau KHGT kan sangat burhani,” ujarnya.
Manhaj Tarjih Muhammadiyah, yaitu bayani, burhani, dan irfani secara historis bersandar pada Muhammad Abid al-Jabiri dalam kitabnya Naqdul Aqal Al-Arabi, Bunya Al-Aqal Al-Arabi, lalu Takwinul Aql Al Arobiy. Al-Jabiri mencoba merumuskan kerangka teoritik dari tiga masalah umat.
Pertama, kecenderungan sufistik yang mereduksi segala sesuatu menjadi ‘mistis’, yang lepas dari realitas. Kedua, tendensi filosofis yang mereduksi semuanya harus masuk akal. Ketiga, tendensi hukum yang mereduksi segalanya harus selaras dengan teks.
Al-Jabiri lalu menawarkan metode epistemologi bayani, irfani, serta burhani untuk merekonstruksi cara berpikir orang Arab. Seyogianya ketiga pendekatan tersebut tidak dibiarkan berjalan paralel atau berjalan sendiri-sendiri. Menurut Nurhadi, ketiga hal itu harus dijalin berkelindan dan mencari tali sintesa agar lebih fungsional sehingga hubungannya bersifat spiral sirkular.
Nurhadi memaparkan bahwa Al-Jabiri dalam kitab-kitabnya sebenarnya justru menolak pendekatan bayani dan irfani. Dia ingin menawarkan rasionalisasi persoalan-persoalan agama. “Itu yang sebetulnya, bahkan ada yang mengatakan itu proyek Al-Jabiri yang diduga pengaruh dari masa penjajahan Prancis di Maroko,” ungkapnya.
“Al-Jabiri ini kan ulama kontemporer, lahir 1935, wafat baru kemarin, tahun 2010. Jadi dia tahu tentang persoalan-persoalan itu, makanya ada kegusaran. Bahkan dia mengatakan Al-Ghazali dan Syafi’i adalah orang yang bertanggung jawab terhadap stagnasi pemikiran dalam khazanah keilmuan Islam,” tambah Nurhadi.
Persoalan Sensitif Umat
Sebab itu, pria yang juga menjabat anggota Badan Pembina Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA (Uhamka) Jakarta itu berpendapat bahwa KHGT kemungkinan belum akan diterapkan atau digunakan dalam waktu dekat. “Masalah hari raya ini kan persoalan yang sensitif bagi umat. Mungkin KHGT baru dua tahun lagi dipakai,” sebutnya.
Menurut Nurhadi, Muhammadiyah selama ini memang berusaha mencari titik konvergensi atau titik pertemuan dengan menjadikan bayani, burhani, serta irfani menjadi satu kesatuan pendekatan yang sifatnya spiral. Ia menilai hal itu sudah bagus.
Namun, ia mengingatkan perlu adanya asistensi PP Muhammadiyah, supaya pemahaman tersebut bisa menjamah sampai ke lapisan bawah. Sebab, menurut dia, kebanyakan umat Islam, termasuk sebagian besar warga Muhammadiyah, memahami agama sebagai sebuah informasi yang mutlak. “Tapi kan jarang ada kajian-kajian khusus tentang hal-hal seperti ini agar bisa melihat fenomena-fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Jadi memang harus ada formulasi yang tepat guna meningkatkan keingintahuan orang terhadap persoalan-persoalan fikir syariat yang menjadi keputusan dari Majelis Tarjih,” tandas Nurhadi.