MAKLUMAT — Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Muhammad Mirdasy, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan lokal/daerah tidak tepat.
Menurutnya, jika memang harus dipisahkan, maka yang tepat adalah dengan memishkannya menjadi Pemilu Eksekutif dan Pemilu Legislatif.
“Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah adalah kesalahan logika berpikir MK, seharusnya jika dipisah adalah Pemilu Ekskutif dan Legislatif,” ujarnya kepada Maklumat.id, Sabtu (5/7/2025).
Mirdasy menjelaskan usulannya, jika digelar berdasarkan rumpun atau jenisnya, maka Pemilu Legislatif akan mencakup pemilihan DPD RI, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Ia menegaskan, pelaksanaan Pemilu Legislatif tersebut sangat penting dan tidak boleh ditunda alias mundur, sebab tidak ada pelaksana tugas (Plt) untuk anggota dewan.
“Pemilu DPD RI, DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tersendiri, sebab ini adalah satu rumpun yaitu Legislatif. Dan pelaksanaannya tidak boleh ditunda, sebab tidak ada Plt,” tandas pria yang juga pernah menjabat Ketua DPW Partai Perindo Jawa Timur itu.
“Sedangkan yang satunya lagi, yaitu rumpun ekskutif, Pemilu Eksekutif, yaitu Pemilihan Presiden dan Wakilnya, Gubernur dan Wakilnya, lalu Bupati/Wali Kota dan Wakilnya,” sambung Mirdasy.
Lebih lanjut, alumnus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu menilai bahwa putusan MK memisahkan Pemilu nasional dan lokal/daerah telah mencederai putusan sebelumnya, tentang keserentakan Pemilu.
“Keputusan MK juga mencederai keputusan tentang Pemilu serentak yang telah diputuskan sebelumnya, dengan pengorbanan penyesuaian waktu pada Kepala Daerah dan Wakilnya,” sorotnya.
Tak hanya itu, Mirdasy menilai putusan tersebut juga berpotensi mengundang kerawanan. Sebab, jika Pemilu nasional dan daerah digelar terpisah, maka ada kemungkinan bahwa para kandidat yang gagal di tingkat nasional justru akan kembali bertarung di tingkat lokal, baik di provinsi ataupun kabupaten/kota.
“Keputusan MK tersebut juga mengundang kerawanan, para politisi yang gagal maju di Pileg DPR RI maupun DPD RI, berpeluang akan ikut dalam kompetisi di DPRD Provinsi atau Kabupaten/Kota,” pungkas Mirdasy.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan perkara nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Lembaga Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Dalam putusannya, MK memisahkan Pemilu nasional dan Pemilu lokal/daerah, yang akan berlaku mulai 2029.
Pemilu nasional mencakup pemilihan Presiden/Wakil Presiden, DPR RI, dan DPD RI, akan digelar pada 2029. Sementara Pemilu lokal/daerah yang mencakup pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati/Wakil Bupati atau Wali Kota/Wakil Wali Kota, dan DPRD Kabupaten/Kota, bakal digelar paling cepat dua tahun atau selambat-lambatnya dua tahun enam bulan setelahnya, yakni di tahun 2031.
Putusan tersebut memicu beragam respon dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat biasa, para akademisi dan pengamat politik kepemiluan, hingga para elite partai politik maupun pejabat publik.