Kritik Sweeping Buku Polda Jabar, Pakar Hukum UM Surabaya: Konyol, Kembali ke Masa Lalu

Kritik Sweeping Buku Polda Jabar, Pakar Hukum UM Surabaya: Konyol, Kembali ke Masa Lalu

MAKLUMAT — Publik terkejut setelah Polda Jawa Barat memamerkan sejumlah buku sebagai barang bukti dalam kasus kericuhan aksi demonstrasi di Bandung.

Langkah itu menuai kritik keras dari pakar hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Satria Unggul Wicaksana, yang menilai sweeping buku mengancam kebebasan akademik dan menandai kriminalisasi pengetahuan.

Dalam konferensi pers di Mapolda Jabar, Selasa (16/9/2025), polisi menyebut buku-buku yang disita memuat teori anarkisme dan diduga menjadi referensi literasi bagi massa aksi anarkistis di Gedung DPRD Jawa Barat.

Satria Unggul Wicaksana menilai praktik sweeping buku oleh aparat merupakan langkah mundur yang mengingatkan pada praktik otoriter masa lalu.

“Fenomena sweeping buku ini bukan hal baru. Militer pada masa lalu juga menyingkirkan buku-buku yang dianggap berhaluan kiri dengan dalih mengajarkan Marxisme atau Leninisme. Kini, polisi melanjutkan pola itu. Ini langkah memalukan, bahkan konyol,” ujar Satria seperti dilansir laman UM Surabaya, Sabtu (20/9/2025).

Sumber Ilmu Pengetahuan

Pakar hukum itu menekankan bahwa buku apapun isinya, baik kiri, kanan, ekstrem, maupun moderat, tetaplah sumber ilmu pengetahuan. Ia menambahkan, membaca dan mendiskusikan buku menandai pertumbuhan peradaban masyarakat.

“Mahasiswa, pelajar, atau masyarakat yang membaca buku hingga berani berdiskusi atau melakukan demonstrasi, seharusnya kita rayakan sebagai tanda sehatnya demokrasi. Bukan ditakuti lalu dipidanakan,” tegasnya.

Satria mempertanyakan dasar hukum aparat menjadikan buku sebagai barang bukti pidana. Ia memperingatkan, tanpa kajian serius dan objektif, langkah itu bisa masuk kategori penyalahgunaan kewenangan.

Baca Juga  Abdul Mu'ti: Ijazah Penting, Tapi Kompetensi Lebih Penting di Dunia Kerja

“Apakah aparat benar-benar membaca dan memahami isi buku dari awal sampai akhir, atau hanya menjadikan sampul dan judul sebagai simbol menakut-nakuti? Kalau seperti itu, ini bukan penegakan hukum, tapi kriminalisasi pengetahuan,” tambahnya.

Ia juga menyinggung kekhawatiran yang kerap disuarakan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mengenai kembalinya praktik gaya Orde Baru, di mana kebebasan akademik dibungkam melalui pelarangan buku dan pembatasan diskursus kritis.

“Kebebasan akademik harus dijaga. Polisi tidak bisa memidanakan seseorang hanya karena bacaan mereka membuatnya kritis. Jika praktik sweeping ini dibiarkan, kita berisiko mengulang normalisasi gaya lama seperti era NKK/BKK pada masa Orde Baru,” tegas Satria.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *