MAKLUMAT — Di tengah riuh pasar dan gemerincing keraton, nama Syekh Siti Jenar tetap bergaung sebagai sosok mistis sekaligus kontroversial dalam sejarah Islam Jawa. Dalam lontar, babad, suluk, dan kisah rakyat, ia sering dikisahkan sebagai wali yang “melampaui agama”. Ia melontarkan ajaran Manunggaling Kawula Gusti, menolak ritual formal, dan terkadang berhadapan dengan Wali Songo. Namun benarkah segala yang diceritakan tentang dirinya hanyalah legenda?
Jejak historis Siti Jenar memang kabur dan penuh polemik. Dalam artikel “Legends and Legacies of Siti Jenar: Ecstatic Sufism and …” dinyatakan bahwa inti kisahnya bersinggungan dengan ajaran wahdat al-wujud—yang menyamakan “hakikat manusia” dengan realitas Tuhan—dan bahwa ia kemudian dijatuhi hukuman karena menolak “rukun” ritual seperti salat Jumat.
Sementara itu, N. Musda dalam tulisan Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Siti Jenar menegaskan bahwa meski banyak narasi menyebutnya menyimpang, dalam teks suluk dan serat terdapat nuansa yang lebih halus: ajaran spiritualitas yang menekankan persatuan batin dan upaya pensucian diri melalui makrifat.
Biografi yang Semu dan Silsilah yang Diperdebatkan
Sumber-sumber tradisional menyebut Siti Jenar lahir sekitar tahun 1426 M — sisanya menjadi ranah mitos. Ada yang menyebut kelahirannya di Cirebon dan nama kecilnya sebagai Sayyid Hasan Ali al-Husain. Namun ada versi lain yang mengatakan ia lahir di Persia (kini Iran) dengan nama Abdul Jalil dan kemudian bermigrasi ke Nusantara.
Beberapa catatan menyebut kedudukan Siti Jenar di antara Wali Songo atau dewan wali, meskipun metode dan interpretasinya berbeda dengan para wali lain. Ia juga dikenal dengan banyak julukan — Syekh Lemah Abang, Syekh Abdul Jalil, dan “San Ali” dalam beberapa versi cerita.
Namun, pertanyaan yang kerap diperdebatkan adalah: apakah Siti Jenar seorang figur historis yang nyata, atau sosok simbolik dalam tradisi mistik Jawa? Penelitian terbaru tentang konsep ketuhanan Siti Jenar menunjukkan bahwa ia bukan tokoh fiktif belaka: terdapat argumen historis dan teks yang mendukung klaim keberadaannya di ranah tasawuf Jawa.
Manunggaling Kawula Gusti: Konsep Kesatuan Kontroversial
Inti ajaran Siti Jenar sering diringkas dalam kalimat Jawa: Manunggaling Kawula Gusti — “bersatunya hamba (kawula) dengan Tuhan (Gusti)”. Konsep ini sering disalahtafsirkan sebagai pengaburan garis antara ciptaan dan Pencipta, padahal pengikutnya menekankan bahwa kesatuan itu terjadi dalam kesadaran spiritual, bukan identifikasi literal.
Dalam penelitian Ajaran Tarekat Syekh Siti Jenar (F. Sihombing, 2023), disebutkan bahwa tarekat Siti Jenar tergolong tarekat a’maliyah (praksis tasawuf) tanpa struktur mursyid formal. Ajarannya menekankan latihan dzikr dan introspeksi langsung, dengan sedikit penekanan pada hierarki guru-murid.
Konsep ketuhanan Siti Jenar juga dikaji dalam kajian Konsep Ketuhanan Syekh Siti Jenar, di mana penulis menolak argumen bahwa ia “mengaku sebagai Tuhan”, dan menyatakan bahwa pemahamannya lebih dekat pada interpretasi internal mistik—sebuah bentuk penghayatan batin ketuhanan yang sulit dijabarkan dalam dikotomi formal.
Namun ajaran ini nyaris selalu berhadapan dengan kritik dari kalangan ulama yang menuduhnya menyimpang. Legenda bahwa Siti Jenar diadili oleh Wali Songo dan dijatuhi hukuman mati tersebar luas dalam literatur Jawa.
Strategi Dakwah dan Inklusi Budaya
Dalam Strategi dan Ajaran Tokoh Syekh Siti Jenar dalam Menyebarkan Islam, disebutkan bahwa ia menggunakan simbol budaya lokal—wayang, gamelan, dan bahasa Jawa—sebagai sarana dakwah supaya ajarannya lebih mudah diterima masyarakat setempat. Ia tak menghindari akulturasi; sebaliknya, ia merangkul kebudayaan Jawa dalam menyampaikan makna-makna tasawuf.
Namun kebebasan kultural itu juga membawanya ke posisi rentan: narasi-narasi lokal versi ulama orthodoks sering menuduhnya mencampuradukkan Islam dengan unsur “kejawen” sehingga menimbulkan pertentangan teologis.
Antara Mitos dan Riwayat Nyata
Seperti banyak figur mistik, kisah Siti Jenar berlapis: fakta sejarah, legenda rakyat, dan interpretasi spiritual. Dalam artikel Ushuluddin UIN Surakarta, kisahnya dianggap bagian dari sakisme Jawa yang mendobrak batas antara dunia nyata dan misteri batin.
Serat-serat Jawa dan babad, seperti dalam Serat Centhini, menyebut perdebatan Siti Jenar dengan Wali Songo dalam epos narasi klasik. Dalam kisah tersebut, ia dianggap “melampaui agama” dan menolak struktur ritual formal.
Tapi kemudian muncul versi-versi kearifan lokal yang membela keberadaannya dengan menekankan kontribusi spiritualnya terhadap tradisi Jawa — bukan sebagai bidat, melainkan sebagai wacana mistis alternatif yang mempertanyakan praktik lahir-keagamaan yang kaku.
Signifikansi Kontemporer dan Pelajaran Keagamaan
Mengapa nama Siti Jenar tetap muncul dalam diskusi keagamaan hari ini? Karena konflik antara laku batin dan hukum formal tetap relevan. Di masyarakat Jawa, sejumlah tarekat dan kalangan spiritual masih merujuk kepada ajarannya sebagai bentuk “tasawuf Jawa”.
Kajian Ajaran Tarekat Syekh Siti Jenar mencatat bahwa sebagian pengikut hingga kini menolak adanya mursyid formal. Mereka memahami dzikr sebagai medan pribadi, bukan diktat guru.
Kritikus, tentu saja, memperingatkan potensi penyalahgunaan konsep kesatuan dalam produk “ajaran sesat”. Tetapi justru dalam kontroversi itu kita bisa mengingat bahwa tradisi Islam Nusantara selalu hidup dalam dialog: antara teks dan budaya, antara disiplin dan pengalaman batin.
Menyusuri Jejak yang Tak Pernah Lengang
Syekh Siti Jenar bukanlah figur mudah dikisahkan dalam buku sejarah. Ia bukan pula tokoh yang bisa ditafsirkan secara tunggal. Di dalam dirinya berkelindan mitos, karya spiritual, dan upaya menyelaraskan Islam dengan budaya Jawa.
Dalam jejaknya, kita menemukan bahwa Islam di Nusantara bukan hanya soal ritual dan hukum—tapi juga pencarian batin, pengalaman mistik, dan relasi dengan budaya lokal. Siti Jenar mendorong kita mempertanyakan batas: antara hamba dan Tuhan, antara syariat dan rasa, antara historis dan simbolik.
Dalam dekapan cerita rakyat dan suluk sunyi di berbagai pondok Jawa, nama Siti Jenar tetap bergema. Meskipun tubuhnya telah tiada, ajarannya tetap menjadi pusar perdebatan dan inspirasi: tentang bagaimana seseorang menghadirkan Tuhan dalam rasa, tanpa mengabaikan bentuk.
*) Artikel ini sudah naik di media afiliasi Mu, www.jakartamu.com.