Tak Cuma Sinkronisasi Kurikulum Pancasila, Kemenag Terapkan Kurikulum Berbasis Cinta

Tak Cuma Sinkronisasi Kurikulum Pancasila, Kemenag Terapkan Kurikulum Berbasis Cinta

MAKLUMAT — Kementerian Agama (Kemenag) menegaskan pentingnya sinkronisasi kurikulum pendidikan Pancasila di seluruh satuan pendidikan di bawah naungannya. Penegasan ini disampaikan Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Islam Kemenag, Amien Suyitno dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang digelar di Jakarta, Kamis (31/7/2025).

“Selama ini di lingkungan Kemenag, penggunaan Teks Buku Utama (TBU) mengacu pada edaran dari Kemendikdasmen. Buku-buku yang kami pakai pun telah mendapat legitimasi dan rekomendasi dari Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP),” jelas Suyitno mewakili Menteri Agama (Menag).

Ia menekankan bahwa legitimasi pemerintah atas buku pelajaran adalah hal krusial demi menjaga kualitas dan validitas materi ajar. Sinkronisasi antara BPIP dan Kemenag disebutnya sebagai langkah strategis dalam pembangunan karakter kebangsaan peserta didik.

Dalam forum yang turut dihadiri Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti serta Kepala BPIP Yudian Wahyudi, Suyitno juga menyampaikan terobosan baru dari Kementerian Agama berupa penerapan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) yang akan diimplementasikan mulai tahun ajaran 2025 ini.

“KBC ini meliputi cinta kepada Tuhan dan Rasul-Nya, cinta kepada bangsa dan tanah air, cinta kepada lingkungan, cinta pada sesama umat, dan cinta pada ilmu,” terang Suyitno.

Ia menggarisbawahi bahwa tantangan utama dalam menerapkan nilai-nilai cinta adalah bagaimana membentuk kesadaran sosial peserta didik. Ia menyinggung fenomena perundungan yang masih marak di lingkungan pendidikan, termasuk di lembaga-lembaga keagamaan.

Baca Juga  Pemerintah Alokasikan Rp227 Miliar untuk PSSI, Cair Bertahap Mulai Januari 2025

“Kalau ini tidak kita tangani secara reformatif, bukan tidak mungkin lembaga pendidikan yang kita cita-citakan sebagai lembaga ramah justru berubah menjadi lembaga yang marah,” tandasnya.

Selain soal isu karakter, Suyitno juga menyoroti daruratnya kerusakan lingkungan. Ia menekankan perlunya pendekatan berbasis teologi dalam membangun kesadaran ekologi.

“Lembaga pendidikan harus hadir dengan karya dan formulasi, bukan hanya secara teoritik tapi juga teologis, dalam menjaga kelestarian lingkungan,” kata Suyitno.

*) Penulis: Ubay NA

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *