MAKLUMAT — Aktivisme sering dipahami sebagai aksi nyata. Mulai dari turun ke jalan sampai membela kelompok tertindas. Namun tanpa fondasi berpikir yang kuat, gerakan mudah kehilangan arah, terburu-buru menganalisis, maupun terjebak dalam reaksi emosional. Hingga yang paling parah, larut dalam arus zaman yang serba pragmatis.
Di sinilah belajar filsafat menjadi penting. Bukan sebagai wacana tinggi yang hanya didiskusikan di ruang akademik. Melainkan sebagai kerangka berpikir yang menajamkan analisis, memperluas perspektif, hingga menjaga agar perjuangan tetap berpijak pada kesadaran yang rasional dan reflektif.
Pandangan itu disampaikan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. phil. Ridho Al-Hamdi MA saat menyoroti peran filsafat dalam aktivisme. Ia menilai, gerakan sosial tanpa filsafat hanya akan bergerak tanpa arah dan mudah kering.
“Aktivis yang tidak belajar filsafat itu seperti makan tanpa minum. Kering,” ujarnya kepada Maklumat.id saat di Surabaya, dikutip Rabu (23/7/2025) lalu.
Ridho menekankan bahwa filsafat yang dimaksud bukan sekadar pelajaran masa lalu atau hafalan sejarah pemikiran dari tokoh filsafat. Namun filsafat dalam konteks ini adalah sebagai alat berpikir yang memungkinkan seseorang untuk memahami masalah dari berbagai sisi.
“Filsafat menyediakan ruang untuk berpikir kritis, sehingga ketika aktivis menganalisis persoalan, ia bisa melihat secara mendalam dan tidak hanya dari satu perspektif,” katanya.
Pria yang juga menjabat Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah itu menjelaskan bahwa tanpa pembiasaan berpikir yang filsafati, banyak aktivis akhirnya terjebak dalam respons instan. Padahal persoalan sosial sering kali kompleks dan saling terkait.
“Filsafat mengajarkan cara berpikir komprehensif, menganalisis dari multiperspektif yang beragam. Kalau dia belum begitu, berarti belajar filsafatnya belum menyeluruh,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa belajar filsafat tidak harus dimulai dari pemikiran Yunani kuno atau dalam forum-forum formal. Yang dibutuhkan hanyalah ruang diskusi yang hidup dan rasa ingin tahu yang tidak padam. Hal ini harus menjadi menu penting yang disiapkan semua pengurus gerakan mahasiswa bagi kader-kadernya.
“Adakan diskusi-diskusi berkala. Tidak harus tempat formal, tidak harus ada pembukaan. Yang penting ngumpul, diskusi, yuk, masalah apa kita,” katanya.
Bagi Ridho, rasa ingin tahu adalah pintu masuk utama filsafat. Ia percaya, selama orang masih bertanya, masih mengejar jawaban atas sekian pertanyaan di kehidupan, maka di situlah ia sedang berfilsafat.
“Intinya filsafat itu kan rasa ingin tahu. Kalau orang ada rasa ingin tahu tentang sesuatu, dia akan terus mengejar. Itu yang penting,” imbuhnya.
Sementara itu, Dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Fadhil Fathurochman SSi MSi, juga menegaskan pentingnya filsafat dalam proses kaderisasi aktivis. Ia menyampaikan pengalamannya saat masih aktif dalam struktural Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Malang.
“Jadi kader-kader kami di Malang punya standar dasar, yaitu matang cara berpikirnya. Dia harus mampu berpikir kritis, analitis, rasa ingin tahu tinggi, dan sebagainya,” ceritanya kepada Maklumat.id di Surabaya, dikutip Rabu (23/7/2025).
Fadhil menjelaskan bahwa filsafat bukan untuk menjadikan seseorang sebagai filsuf, melainkan membentuk kerangka berpikir yang rapi dan tajam. Di IMM Malang, hal ini dikemas sedemikian rupa untuk kader tahun pertama. Setelah itu, barulah para kader diarahkan pada pendalaman bidang keilmuan masing-masing.
Eks Ketua Umum PC IMM Malang Raya itu juga mengkritik kecenderungan sebagian aktivis yang merasa cukup hanya dengan keberpihakan dan aksi, tanpa memperkuat kemampuan berpikir. Padahal, dalam proses selanjutnya, kemampuan berpikir ini sangat dibutuhkan oleh setiap insan gerakan.
Ia mencontohkan bagaimana pragmatisme gerakan menjangkit banyak sekali aktivis. Beberapa tidak kuat menahan kompleksitas masalah saat berproses, lalu memilih jalan pintas. Di tengah itu, banyak terlontar aksi tanpa refleksi, kritik tanpa kerangka. Mereka terjebak dalam rutinitas bergerak tanpa berpikir, larut dalam simbol dan slogan tanpa punya kemampuan untuk memahami apa yang sebenarnya sedang diperjuangkan.
Fenomena itu terlihat nyata dalam berbagai gerakan yang hanya mampu memobilisasi massa untuk demonstrasi, tetapi gagal menyusun narasi akademik yang tajam dan sistematis. Ketika tekanan politik datang atau peluang kekuasaan terbuka, sebagian justru berbelok arah, menjilat kekuasaan yang dulu mereka kritik. Karena memang sejak awal tidak dibekali kerangka berpikir yang tahan banting.
“Kerangka berpikir (filsafat) yang baik akan sangat membantu saat mau turut serta menyelesaikan permasalahan-permasalahan di masyarakat. Filsafat sebagai dasar itu penting untuk mengurai banyak sekali problem di keseharian kehidupan kita. Terlebih saat kita ingin turut serta mengabdi kepada masyarakat,” tandasnya.