Tapak Suci dan Tantangan Adab di Era Baru

Tapak Suci dan Tantangan Adab di Era Baru

MAKLUMAT — Tanggal 31 Juli 2025, Perguruan Seni Bela Diri Tapak Suci Putera Muhammadiyah genap berusia 62 tahun. Usia yang tidak muda untuk sebuah perguruan silat yang lahir dari rahim organisasi Islam modernis, Muhammadiyah.

Namun, di tengah gegap gempita dunia bela diri yang kian mengarah pada eksploitasi fisik dan tontonan kompetitif semata, Tapak Suci tetap konsisten pada pendiriannya: bela diri bukan soal unjuk otot, melainkan soal pembangunan karakter.
Sebagai bagian dari gerakan dakwah, Tapak Suci lahir dengan misi ganda.

Ia mengajarkan teknik bela diri, tetapi sekaligus menyisipkan nilai-nilai keislaman, kejujuran, kesabaran, dan pengendalian diri. Motto yang terus dijaga selama enam dekade lebih adalah: “Dengan iman dan akhlak saya menjadi kuat. Tanpa iman dan akhlak saya menjadi lemah.” Kalimat ini tidak hanya ditempel di dinding-dinding padepokan, tetapi dirawat dalam praktik latihan harian.

Pada era di mana kekerasan mudah dipertontonkan dan kekuatan kerap disalahgunakan, pendekatan Tapak Suci menjadi relevan. Tidak ada glorifikasi terhadap pertarungan. Tidak ada pemujaan terhadap kehebatan fisik semata. Bahkan, dalam ujian tingkat lanjut, siswa justru diajarkan filosofi menang tanpa merendahkan lawan. Filosofi semacam ini langka, apalagi ketika dunia mulai menganggap adab sebagai nilai usang.

Tapak Suci membentuk kader yang kuat bukan karena jumlah jurusnya, tetapi karena kematangan berpikir dan keteguhan hati. Nama-nama jurus seperti Mawar, Merpati, Harimau, hingga Lembu bukan hanya mengajarkan teknik, tetapi sarat makna: kelembutan, ketangkasan, keberanian, dan keteguhan. Filosofi ini mengingatkan bahwa kekuatan tidak harus ditampilkan dengan kekerasan.

Baca Juga  Pendekar Tapak Suci di Balai Kota Medan: H. Zakiyuddin Siap Mengabdi untuk Rakyat

Nilai-nilai seperti itu sangat dibutuhkan hari ini. Kita tengah berada dalam era yang miskin keteladanan dan rentan konflik. Dari ruang publik hingga dunia digital, pertarungan justru terjadi karena absennya akhlak. Karena itu, peran perguruan seperti Tapak Suci menjadi strategis. Ia tidak hanya mencetak atlet, tetapi membentuk manusia yang utuh: beriman, berilmu, dan beradab.

Milad ke-62 Tapak Suci menjadi momentum refleksi, baik bagi internal perguruan maupun bangsa ini. Di internal, Tapak Suci dituntut untuk terus relevan dengan zaman tanpa kehilangan jati dirinya. Pembaruan metode pelatihan, keterlibatan aktif dalam forum-forum bela diri internasional, serta penguatan literasi digital kader menjadi penting untuk menjaga eksistensi.

Sementara bagi masyarakat luas, nilai-nilai yang diajarkan Tapak Suci patut dijadikan rujukan. Di tengah atmosfer sosial yang mudah tersulut emosi, keberanian untuk mengedepankan akhlak adalah kekuatan sejati. Pendidikan karakter tidak cukup diajarkan di sekolah formal, tetapi harus lahir dari komunitas-komunitas pembinaan seperti Tapak Suci.

Bangsa ini tidak kekurangan pendekar. Yang langka adalah pendekar yang mampu menahan diri, menjaga moral, dan tidak mabuk kuasa. Tapak Suci hadir sebagai penyeimbang. Ia bukan alat kekuasaan, tetapi pelindung nilai-nilai. Di tengah zaman yang serba cepat dan pragmatis, Tapak Suci tetap berdiri tegak dengan prinsipnya. Tidak ikut-ikutan arus, tetapi membangun pondasi dari dalam. Dari tubuh yang terlatih, dari hati yang dijaga, dan dari pikiran yang jernih.

Baca Juga  Kader Tapak Suci Raih Total 19 Medali di PON XXI 2024

Sebagai kader, saya percaya, Tapak Suci bukan sekadar perguruan silat. Ia adalah benteng moral. Pada usia ke-62, semoga Tapak Suci terus menegakkan prinsipnya dengan lebih luas, lebih terbuka, dan lebih berdampak. Karena membangun bangsa tidak cukup dengan pembangunan fisik. Ia butuh jiwa-jiwa kuat yang ditempa oleh disiplin, iman, dan akhlak. Tepat seperti yang diajarkan oleh Tapak Suci selama enam dekade ini.***

*) Penulis: Edi Purwanto
Alumni Tapak Suci UMM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *