MAKLUMAT — Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah menyelenggarakan Workshop Advokasi Kebijakan Publik bagi kader Muhammadiyah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan LHKP wilayah dan daerah, khususnya di DIY, serta unsur Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM).
Workshop yang digelar pada Jumat (11/7/2025) ini bertujuan meningkatkan kepekaan kader Muhammadiyah dalam merespons berbagai kebijakan publik yang dinilai hanya menguntungkan segelintir pihak, terutama terkait isu eksploitasi dan kerusakan sumber daya alam.
Dalam pesan kebangsaannya, Ketua LHKP PP Muhammadiyah, Dr phil Ridho Al-Hamdi MA, menegaskan pentingnya peran masyarakat sipil dalam negara demokrasi.
“Di negara-negara demokrasi, yang berperan bukan hanya pemerintah, jurnalis, dan media, tetapi juga masyarakat sipil (civil society) yang seharusnya turut aktif. Di negara-negara maju seperti di Eropa, ruang gerak masyarakat sipil sudah cukup terbatas,” ujarnya, dalam keterangan yang diterima Maklumat.id, Senin (14/7/2025).
“Alhamdulillah, di Indonesia masyarakat sipil masih memiliki ruang untuk bergerak. Namun, ketika masyarakat sipil mulai dikooptasi oleh para pemegang kepentingan, maka siapa lagi yang dapat berdiri secara independen untuk mewakili kepentingan mayoritas,” ujarnya.
Ridho menyerukan agar kader Muhammadiyah, khususnya di DIY, tampil aktif dalam agenda advokasi kebangsaan sebagai bentuk kontribusi nyata terhadap demokrasi dan perlindungan kepentingan publik.
Senada dengan itu, dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Tunjung Sulaksono, menyoroti pentingnya partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan.
“Salah satu ciri negara demokratis adalah masyarakat awam dapat berperan aktif dalam menentukan kebijakan yang mereka inginkan, serta berbagai tindakan dan aksi dari masyarakat dapat memengaruhi keputusan pemerintah,” jelasnya.
Namun dalam praktiknya, Tunjung mengakui bahwa proses pembuatan kebijakan sering kali tidak berjalan ideal. Ia menambahkan:
“Dalam realitasnya, siklus pembuatan kebijakan tidak selalu berjalan mulus; banyak tahapan dan prosedur yang dilanggar secara ugal-ugalan demi melancarkan kepentingan segelintir pihak,” ungkapnya.
Isu eksploitasi sumber daya alam juga menjadi sorotan dalam workshop ini. Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah yang juga dosen Ilmu Pemerintahan UMY, David Effendi, menekankan pentingnya keadilan dalam tata kelola sumber daya.
“Yang paling krusial dalam tata advokasi sumber daya alam adalah prinsip keadilan. Inilah yang semakin ke sini semakin mengalami tren penurunan. Contohnya, seperti di Yogyakarta ada yang disebut tambang kaya, bukan tambang ilegal lagi. Namun masyarakat adat tidak diberi hak untuk menikmati hasil tambangnya. Maka dari itu Muhammadiyah dan warganya mempunyai tanggung jawab besar untuk menjaga lingkungan,” tegasnya.
David juga menekankan bahwa advokasi sumber daya alam adalah bagian dari jihad lingkungan, yang selaras dengan nilai-nilai agama dan prinsip dakwah Muhammadiyah.
“Dalam perspektif Muhammadiyah, advokasi harus mengandung beberapa nilai, yaitu moral agama, moral ekonomi, dan moral ekologi,” tambahnya.
Melalui workshop ini, kader Muhammadiyah di seluruh tingkatan, terutama di DIY, diharapkan semakin siap mengambil peran strategis dalam mengawal kebijakan publik yang berkeadilan. Advokasi kebijakan bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga bagian dari dakwah amar ma’ruf nahi munkar di ranah kebangsaan.
Dengan semangat kolektif dan kesadaran ekologis, Muhammadiyah didorong untuk menjadi kekuatan sipil yang konsisten memperjuangkan keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan untuk seluruh rakyat Indonesia.