STIGMA negatif dari internal Muhammadiyah terhadap kadernya yang terjun ke politik praktis tidak membuat gusar Grienny Nuradi. Ketua Majelis MPI PDM Kabupaten Malang itu menilai itu sebagai konsekuensi sekaligus tantangan.
Caleg dari Partai Demokrat itu justru menilai bahwa yang dia lakukan dengan terjun ke politik ini menjadi bagian dari mengambil peran syiar Muhammadiyah dalam politik. Dia ingin mengambil peran dalam sistem untuk mengubah kondisi di Kabupaten Malang agar lebih baik.
”Pengalaman selama berorganisasi membentuk konstruksi berpikir yang senantiasa resah ketika melihat sesuatu yang tidak tepat, terutama di Kabupaten Malang. Jadi, perlu mengambil peran. Itu yang melatar belakangi saya terjun ke politik,” ujar Mas Gren, sapaannya.
Ya, Grienny punya rekam jejak berorganisasi yang cukup panjang pada usianya yang masih muda. Sejak remaja telah aktif di IRM (sekarang IPM) dengan menjadi Ketua IRM Kabupaten Trenggalek pada 2002. Lalu pernah juga jadi Ketua IMM Universitas Negeri Malang (2007).
Selain itu, selama mahasiswa, dia juga sempat menjabat sebagai Presidan Mahasiswa Univeritas Negeri Malang (2008) dan Ketua Bidang Hikmah Pimpinan Cabang IMM Malang Raya (2009). Kecintaannya berorganisasi terus berlanjut.
Pada 2020 dia menjadi bendahara Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Kabupaten Malang, Ketua Divisi Dakwah Anak Jalanan LDK PDM Kabupaten Malang (2022), Direktur Muhammadiyah Boarding School Al-Amin Kepanjen (2022), dan Ketua Majelis MPI Kabupaten Malang (2023).
”Proses yang saya jalani itu sejak remaja itu tidak terlepas dari kecintaan terhadap Persyarikatan Muhammadiyah dengan ikut berjuang melalui Ortom Muhammadiyah baik secara berjenjang dan lengkap,” ujar wakil ketua FOKAL IMM Korda Malang Raya tersebut.
Menurut caleg yang akan bertarung di Dapil 1 Kabupaten Malang yang meliputi Gondanglegi, Kepanjen, Bululawang, dan Pagelaran itu, Partai Demokrat sangat sesuai dan representatif untuk mewujudkan cita-citanya terhadap perubahan Kabupaten Malang.
Dia menyoroti problem ketimpangan golongan atas anggaran. Kondisi ketidakadilan ini tak terlepas dari sikap acuh terhadap politik. Spesifiknya karena tidak adanya keterwakilan dan pengawalan kebijakan untuk menghapus masalah tersebut.
”Saya beri contoh, anggaran Jasmas (Jaringan Aspirasi Masyarakat) dan Pokir (Pokok-pokok pikiran anggota DPRD) itu cukup besar. Sayangnya, hal ini hanya digunakan untuk merawat daerah atau kelompok konstituen pemilih politisi partai mereka saja. Kalau untuk kebaikan seluruh masyarakat kenapa harus pilih-pilih,” tegas Grienny.
Pada aspek yang lain, Grienny juga menyoroti problem kesejahteraan yang akarnya terletak dalam distribusi yang begitu timpang. Selain itu dia juga menyoroti ketimpangan kepada para tenaga pengajar, terkhusus guru honorer dan guru sekolah swasta. (*)
Reporter: Iqbal Darmawan
Editor: Mohammad Ilham