
MAKLUMAT — Fajar belum menyingsing ketika Tulus Waris sudah menyalakan lampu masjid, menyapu halaman, dan merapikan sajadah.
Di saat kebanyakan orang masih terlelap, pria paruh baya itu sudah memulai rutinitas yang sama setiap hari sejak dua dekade lalu. Masjid Istiqomah di Bogor Timur, baginya, bukan sekadar tempat ibadah, melainkan rumah yang ia jaga dengan sepenuh hati.

Tulus Waris, pria kelahiran Kebumen, 6 April 1961, telah mengabdi sebagai marbot di Masjid Istiqomah sejak 2004.
Bersama istrinya, ia menetap di masjid yang terletak di Jalan Bulldozer No. 1, Baranangsiang, Bogor Timur. Setiap hari, sebelum subuh tiba, Tulus sudah bersiap dengan sapu di tangan.
Ia memastikan setiap sudut masjid bersih, sajadah terhampar rapi, dan air wudhu mengalir lancar. Baginya, menjaga kenyamanan jamaah adalah bentuk ibadah yang tak butuh sorotan. “Saya anggap masjid ini rumah saya. Kalau bersih, hati juga ikut tenang,” ujar melansir laman Majelis Tabligh.
Namun, pengabdian itu tak diiringi gaji tetap. Tulus tak pernah menuntut bayaran. Ia percaya, rezeki akan selalu datang dengan cara yang tak terduga. Keyakinannya bukan sekadar harapan kosong, melainkan prinsip hidup yang telah dijalani selama puluhan tahun.
Tugas Tulus tak berhenti di dalam masjid.Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) yang dikelola Yayasan Istiqomah juga dibersihkannya. Melihat anak-anak datang ke sekolah dalam lingkungan yang bersih menjadi kebahagiaan tersendiri baginya.
Tak jarang, warga sekitar menitipkan kendaraan atau meminta bantuannya mengantar ke bandara dan menjemput anak-anak sekolah. “Saya enggak pernah pasang tarif. Kalau ada yang ngasih, saya anggap itu rezeki dari Allah,” katanya sambil merapikan sandal jamaah di teras masjid.
Di sela kesibukannya, Tulus juga menjadi pendengar setia bagi jamaah yang datang dengan hati gelisah. Ia memang bukan ustaz, tetapi ketulusan sikap dan kata-katanya kerap menenangkan. Beberapa jamaah bahkan menganggapnya sebagai saudara sendiri.
Tulus Bisa Membiayai Kuliah Anak
Meski tanpa penghasilan tetap, kehidupan Tulus jauh dari kata kekurangan. Baginya, rezeki tak melulu soal uang, tetapi juga kesehatan, ketenangan, dan keberhasilan anak-anaknya.
Keyakinan itu terbukti. Putra sulungnya lulus dari fakultas farmasi, putri keduanya menempuh studi di bidang kesehatan, dan putra bungsunya hampir menyelesaikan pendidikan di Fakultas Pendidikan Universitas Muhammadiyah Bandung.
Kini, ketiga anaknya telah mandiri dan tinggal di Bandung. Mereka bahkan bisa membeli rumah sendiri di kota itu. “Kalau kerja ikhlas, Allah pasti cukupkan. Saya yakin rezeki itu Allah yang atur, bukan manusia,” kata Tulus dengan senyum yang tak pernah luntur.
Di usianya yang tak lagi muda, Tulus Waris tetap setia pada tugas yang sering luput dari perhatian. Bagi masyarakat sekitar, ia bukan sekadar marbot, melainkan penjaga keikhlasan yang nyata.
“Saya cuma ingin bermanfaat. Kalau masjid bersih, orang tenang beribadah, saya sudah senang,” ucapnya pelan.
Tulus telah membuktikan bahwa kebahagiaan sejati bukan soal seberapa banyak harta yang dimiliki, melainkan seberapa besar manfaat yang bisa dibagikan. Di balik kesederhanaannya, ia adalah cerminan bahwa keikhlasan selalu berbuah keberkahan.
Penulis: Dr. Slamet Muliono Redjosari