MAKLUMAT — Merespon Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan penyelenggaraan Pemilu nasional dan daerah/lokal, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse Sadikin, menyebut hal itu sebagai momentum untuk mendesain ulang model pemilihan umum di Indonesia.
Diketahui MK pada Kamis (26/6/2025) telah mengabulkan judicial review atas Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2015 dan Pasal 167 UU Nomor 7 Tahun 2017, dalam perkara nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Menurut Zulfikar, putusan tersebut menjadi momentum yang sangat tepat untuk mendesain ulang model Pemilu dan Pilkada sesuai struktur pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Ia menegaskan, Putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga pihaknya di DPR RI—sebagai pembentuk Undang-Undang—memastikan bakal segera menyelaraskan dengan putusan tersebut.
“Pertama, kami menghormati putusan MK tersebut. MK adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk menafsirkan apakah sebuah undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak,” ujar Zulfikar saat dihubungi Maklumat.ID, Jumat (27/6/2025).
“Karena putusan MK bersifat final dan mengikat, sebagai pembentuk UU, kami siap menyelaraskan dengan putusan MK tersebut,” sambung politisi Partai Golkar itu.
Revisi/Penyesuaian UU Pemilu
Zulfikar menegaskan, hadirnya Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu menjadi dorongan kuat bagi DPR maupun Pemerintah, untuk segera menyusun ataupun melakukan revisi terhadap Undang-Undang Pemilu.
“Kedua, putusan MK ini secara substansi menegaskan struktur politik kita terdiri atas dua entitas, yaitu politik nasional dan politik daerah yang pengelolaanmya perlu penyesuain,” terangnya.
Tak hanya itu, Zulfikar juga menilai bahwa putusan MK tersebut menegaskan posisi Pilkada sebagai bagian dari rezim Pemilu, serta terbuka peluang untuk memasukkan aturan atau regulasi Pilkada terkodifikasi ke dalam UU Pemilu sesuai kebijakan dalam RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) 2025-2045.
Ia juga mengaku optimis dengan Putusan MK tersebut bakal memudahkan para pemilih dalam menggunakan hak pilihnya, serta memastikan penyelenggaraan Pemilu berlangsung efektif.
“Ketiga, putusan MK ini secara teknis akan memudahkan pemilih dalam menggunakan hak pilihnya dan mengefektifkan penyelenggara pemilu dalam melaksanakan setiap tahapan,” kata wakil rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Timur III itu.
Keempat, kata dia, hadirnya putusan MK tersebut mengokohkan kedudukan penyelenggara Pemilu—Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)—sebagai institusi yang tetap, sehingga menepis asumsi-asumsi dan pandangan yang menyebut bakal menjadikan penyelenggara pemilu sebagai lembaga ad hoc.
“Terakhir, putusan MK ini memperkuat prinsip bahwa kita merupakan negara kesatuan yang didesentralisasikan. Harapannya, bisa memunculkan budaya politik baru yang memperkuat dan meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah,” pungkas Zulfikar.
Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusannya terhadap perkara nomor 135/PUU-XXII/2024, yang memutuskan bahwa penyelenggaraan Pemilu bakal dipisahkan antara nasional dan daerah/lokal.
Pemilu nasional bakal dilangsungkan pada 2029, mencakup pemilihan Presiden/Wapres, DPR RI, dan DPD RI. Sedangkan Pemilu lokal/daerah dilakukan paling singkat dua tahun atau paling lambat dua tahun enam bulan usai Pemilu nasional. Pemilu daerah mencakup pemilihan Gubernur/Wagub, DPRD Provinsi, Bupati/Wabup atau Wali Kota/Wakil Wali Kota, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Mahkamah juga menyoroti dampak negatif dari jadwal Pemilu yang berdekatan dan tumpang tindih, terutama terhadap isu-isu pembangunan daerah. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa hal ini membuat rakyat tidak memiliki cukup waktu untuk menilai kinerja hasil Pemilu nasional sebelum Pilkada digelar.
“Masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu/masalah pembangunan di tingkat nasional,” kata Saldi.
Tak hanya itu, Saldi juga menegaskan bahwa Mahkamah mempertahankan konstitusionalitas seluruh model penyelenggaraan pemilu yang selama ini dijalankan, sembari mendorong perbaikan lewat reformasi undang-undang.
“Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” tandas Saldi.