Wakil Ketua MPR RI Tegaskan Pentingnya PPHN Sebagai Arah Pembanggunan Berkelanjutan

Wakil Ketua MPR RI Tegaskan Pentingnya PPHN Sebagai Arah Pembanggunan Berkelanjutan

MAKLUMAT – Wakil Ketua MPR RI Dr. Moh. Eddy Dwiyanto Soeparno menegaskan pentingnya merumuskan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai arah pembangunan jangka panjang yang berkesinambungan.

Menurutnya, PPHN dapat menjadi pedoman strategis yang mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila tanpa mengurangi kewenangan pemerintah dalam menyusun blueprint pembangunan nasional.

“Rekomendasi MPR adalah menghadirkan PPHN sebagai pedoman pembangunan agar visi antar pemerintahan tidak terputus,” ujar Eddy dalam forum Rapat Kerja Nasional Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA) 2025 di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jum’at (17/10/2025).

Eddy menjelaskan, dinamika ketatanegaraan saat ini mencerminkan tiga pandangan besar. Pertama, sebagian pihak ingin kembali sepenuhnya ke UUD 1945 sebelum amandemen. Kedua, ada pandangan bahwa sistem yang ada sudah tepat, tetapi lemah dalam implementasi.

“Ketiga, muncul dorongan untuk melakukan perubahan terbatas terhadap UUD NRI 1945 agar lebih adaptif terhadap perkembangan zaman,” ungkapnya.

Selain Eddy, dalam forum yang dimoderatori oleh Prof. Dr. Sofyan Anif, M.Si. juga menghadirkan sejumlah tokoh nasional dan pakar konstitusi yang menyoroti arah sistem ketatanegaraan Indonesia.

Keynote speaker Jenderal TNI (Purn) Agustadi Sasongko Purnomo menilai kajian ulang UUD 1945 tidak boleh berhenti pada wacana akademik. Ia menegaskan, evaluasi mendasar terhadap pelaksanaan konstitusi perlu dilakukan untuk memastikan keselarasan dengan kaidah fundamental negara.

“Banyak persoalan filosofis, ideologis, dan hukum dasar yang kini tidak lagi koheren dengan Pembukaan UUD 1945. Ini harus menjadi perhatian serius,” kata Agustadi.

Baca Juga  UMM Cetak Pemimpin Masa Depan Melalui LKMM

Dari kalangan akademisi, Prof. Dr. H. Khudzaifah Dimyati, S.H., M.Hum. menyoroti urgensi amandemen kelima UUD 1945. Ia menilai, amandemen tersebut dibutuhkan untuk menjawab kelemahan formil dan materil yang tersisa dari amandemen keempat.

Menurut Khudzaifah, sejumlah persoalan seperti dominasi elite politik, lemahnya posisi DPD, dan mahalnya biaya pemilu presiden langsung menunjukkan perlunya penyempurnaan sistem ketatanegaraan secara hati-hati dan partisipatif.

“Kalau amandemen dilakukan secara elitis dan politis, justru akan membuka ‘kotak pandora politik’ yang bisa melemahkan sistem presidensial dan legitimasi konstitusi,” ujarnya.

Sementara itu, akademisi Universitas Indonesia Dr. Reni Suwarso menilai amandemen UUD 1945 gagal memenuhi misi reformasi. Ia menyebut, perubahan konstitusi justru menggeser konsep separation of power menjadi sekadar distribution of power.

Reni juga menyoroti dominasi DPR dalam sistem presidensial serta lemahnya konsistensi hubungan pusat-daerah dan sistem ekonomi nasional.

“Kendala utamanya adalah dominasi partai politik yang lebih mengedepankan kepentingan kekuasaan daripada kepentingan bangsa. Kalau negara begini terus, tidak akan ada Indonesia 2045,” tegas Reni.

Rakernas PTMA 2025 yang diikuti lebih dari 120 rektor perguruan tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah berlangsung pada 16-19 Oktober.

*) Penulis: Aan Hariyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *