MAKLUMAT — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur menanggapi klaim Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang menyebut Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Benowo tidak mencemari lingkungan. Sebelumnya, pada 4 Agustus 2025 lalu, Pemkot Surabaya melalui Kepala Dinas Lingkungan Hidup merilis hasil pengujian emisi cerobong dan kualitas udara di sekitar PLTSa Benowo.
Berdasarkan sampling di beberapa titik, kadar PM2.5 dilaporkan sebesar 3,9 µg/Nm³ pada titik buang aktif berjarak 827 meter dari cerobong, 2,8 µg/Nm³ di titik buang tidak aktif berjarak 448 meter, dan 1,6 µg/Nm³ di permukiman Jawar yang berjarak 1,2 km dari lokasi.
Pemkot menyatakan angka tersebut jauh di bawah baku mutu udara ambien nasional yang diatur dalam PP No. 22 Tahun 2021, yakni 55 µg/m³ untuk ambang harian dan 15 µg/m³ untuk ambang tahunan. Hasil uji emisi dari tiga unit boiler juga disebut berada di kisaran 2,0–3,5 mg/Nm³, jauh di bawah ambang batas nasional 120 mg/Nm³.
Walhi Jatim menilai klaim ini perlu dikaji lebih kritis. Berdasarkan konversi ke satuan µg/m³ pada suhu lingkungan Surabaya sekitar 30°C, kadar PM2.5 yang dilaporkan berada di kisaran 1,4–3,5 µg/m³. Nilai ini memang di bawah standar nasional, namun sudah mendekati batas aman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 5 µg/m³.
Selain itu, emisi bersifat fluktuatif. Kadar polutan dapat melonjak tajam saat pembangkit dinyalakan, dimatikan, atau mengalami gangguan teknis. Walhi menyoroti ketidakjelasan apakah pengujian yang dilakukan Pemkot bersifat pemantauan emisi kontinu atau hanya pengujian berkala.
“Jika hanya berkala, maka sangat mungkin terjadi penghitungan yang meremehkan dan menyesatkan terhadap dampak lingkungan sebenarnya,” tulis Walhi Jatim, dikutip dari laman resminya, Sabtu (9/8/2025). Pernyataan ini juga mengacu pada beberapa penelitian, termasuk yang ditulis Arkenbout & Bouman (2024), Arkenbout & Petrlík (2019), Kriekouki dkk. (2018), dan De Fré & Wevers (1998).
Walhi Jatim juga mencatat pengujian hanya mencakup PM2.5 dan debu total. Padahal, proses gasifikasi sampah lazim menghasilkan polutan lain seperti karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOₓ), senyawa organik volatil (VOCs), logam berat, dan residu padat yang tergolong limbah B3. Tanpa data polutan tersebut, klaim “tidak mencemari lingkungan” dinilai tidak berdasar.
“WHO secara tegas menyatakan bahwa bahkan paparan PM2.5 dalam kadar rendah tetap berisiko bagi kesehatan, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan penderita penyakit pernapasan. Karena itu, menyimpulkan bahwa udara di sekitar PLTSa Benowo sudah pasti “aman” adalah klaim yang keliru—terlebih bila hanya merujuk pada standar nasional yang jauh lebih longgar dibandingkan standar kesehatan global saat ini,” tulis Walhi Jatim.
Studi-studi terdahulu menunjukkan fasilitas waste-to-energy berbasis teknologi termal tetap menimbulkan risiko pencemaran udara, tanah, dan air, serta berkontribusi terhadap emisi karbon. Laporan GAIA (Global Alliance for Incinerator Alternatives) bahkan menyebut emisi gas rumah kaca dari PLTSa bisa lebih tinggi daripada PLTU batubara jika dihitung dari seluruh siklusnya, terutama karena kandungan plastik dalam sampah.
Walhi menegaskan minimnya transparansi proyek ini. Hingga kini, dokumen AMDAL belum dibuka untuk publik, data emisi real-time tidak tersedia secara daring, laboratorium penguji tidak disebutkan, dan pelibatan masyarakat dalam pemantauan nyaris tidak ada.
“Kami menegaskan sekali lagi bahwa Pemkot Surabaya dan operator proyek wajib membuka seluruh dokumen teknis dan data lingkungan kepada publik, melakukan audit independen terhadap dampak PLTSa Benowo, serta mengkaji ulang proyek ini secara menyeluruh dengan melibatkan partisipasi masyarakat,” tandas Walhi Jatim.