MAKLUMAT — Pesta demokrasi Jawa Timur sebentar lagi akan dimulai. Tahun ini ada kisah yang menarik di mana partai pengusung menyodorkan 3 calon perampuan dalam pencalonan Gubernur Jawa Timur. Nama Khofifah-Emil muncul lebih dahulu kemudian disusul oleh pencalonan Risma-Gus Hans dan Luluk-Lukman. Ketiga pasangan ini mempunyai wakil laki-laki. Perempuan-perempuan ini kemudian banyak disebut dengan istilah ‘Srikandi’, sebagai simbol pejuang Wanita dalam cerita Mahabarata.
Persoalan pemimpin perempuan sudah sejak lama dicontohkan Muhammadiyah sejak berdirinya Aisyiyah tahun 1917. Aisyiyah menjadi motor perempuan di masa awal pergerakan Bangsa Indonesia. Pada Desember 1928, organisasi perempuan Indonesia mengadakan kongres pertama di Yogyakarta.
Kongres ini mewakili suara Wanita dan sekaligus merupakan puncak akumulasi aktivitas publik terkait kampanye menentang pernikahan anak. Pada waktu itu pemikiran tersebut tumbuh di kalangan Wanita Indonesia yang mengenyam pendidikan barat. Pernikahan anak merupakan permasalahan yang menjadi keprihatinan para wanita pada waktu itu.
Dalam kongres ini wakil Aisyiyah Ny. Siti Mundjiah membawakan pidato berjudul ‘Derajat Perempuan’ dalam pidato yang menekankan gender equality, mendapat banyak apresiasi karena Aisyiyah mewakili suara perempuan muslim yang menyuarakan hal itu.
Prinsip gerakan yang diusung Aisyiyah adalah melakukan dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid yang berasas Islam serta bersumber kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Visi ideal Aisyiyah adalah ‘tegaknya agama Islam dan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya’. Sedangkan visi pengembangan Aisyiyah adalah ‘tercapainya usaha-usaha Aisyiyah yang mengarah pada penguatan dan pengembangan dakwah amar makruf nahi munkar secara lebih berkualitas menuju masyarakat madani’.
Prinsip gerakan ini yang kemudian diterjemahkan sejak awal Aisyiyah oleh Ketua Aisyiyah pertama, Siti Bariyah, yang merupakan generasi pertama ‘Sapa Tresna’, sekaligus alumni Neutraal Meisjes School. Ia dipercaya memimpin Aisyiyah berkat kedalaman intelektual dan kecakapan berorganisasi. Nama-nama lain yang sempat memimpin Aisyiyah di masa awal, yaitu Siti Aisyah Hilal, Siti Mundjiah, dan Siti Badilah. Di bawah kepemimpinan mereka, Aisyiyah bergerak pada berbagai aktivisme sosial-keagamaan.
Pada ranah pendidikan, Aisyiyah melakukan penguatan pendidikan masyarakat muslim Indonesia, ditandai dengan merintis pendidikan dini untuk anak-anak Bernama Frobelschool pada 1919. Sekolah yang dikenal juga sebagai TK Aisyiyah Bustanul Athfal ini menjadi rintisan awal gerakan Aisyiyah dalam upaya memberantas kebodohan, khususnya mengurangi tingkat buta huruf masyarakat muslim di Pulau Jawa, dan di Indonesia pada umumnya.
Kepada kelompok perempuan, Aisyiyah menekankan pentingnya pendidikan keluarga. Sementara bagi remaja perempuan Aisyiyah fokus membenahi mental selain kapasitas pengetahuan melalui sebuah lembaga khusus bernama Nasyiatul Aisyiyah. Aisyiyah juga tercatat melahirkan gerakan penertiban pakaian perempuan Islam dengan menginisiasi gerakan berkerudung. Dalam perjalanannya kerudung menjadi ciri khas anggota Aisyiyah.
Dalam konteks peribadatan Aisyiyah merintis tempat salat khusus bagi perempuan yang dikenal dengan Musala Aisyiyah di Kauman, Yogyakarta. Selain untuk keperluan salat, tempat ibadah yang didirikan tahun 1922 tersebut juga dimanfaatkan untuk pengajian-pengajian. Sedangkan pada ranah penguatan literasi masyarakat, sejak tahun 1923 Aisyiyah melancarkan Gerakan pemberantasan buta huruf Arab dan latin dengan menyelenggarakan kegiatan belajar membaca dan menulis huruf Arab dan latin bagi masyarakat. Di kemudian hari, program ini dikembangkan menjadi Sekolah Maghribi yang juga dikenal dengan nama Aisyiyah Maghribi School.
Pada tahun 1927 Aisyiyah menerbitkan majalah Suara Aisyiyah yang menjadi media informasi program dan kegiatan, termasuk konsolidasi internal organisasi. Majalah ini dirancang sebagai media untuk mengulas isu perempuan dan Islam dengan penekanan pada pentingnya pemahaman beragama yang berkemajuan, selain membebaskan dan mencerahkan.
Pemahaman ini sangat berpengaruh dalam perkembangan dakwah Aisyiyah. Melalui Suara Aisyiyah muncul banyak tulisan yang berupaya mengetengahkan isu seputar pentingnya perempuan berpartisipasi dan berperan dalam dakwah Islam amar makruf nahi munkar bersama-sama dengan laki-laki untuk mempercepat terwujudnya bbaldatun thayyibatun wa rabbun ghofur.
Pada tahun 1930 dalam kongres ke-19 di Bukittinggi, Aisyiyah memutuskan dan kemudian ikut serta dalam mengadakan kursus Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan pasca Kongres Pemuda tahun 1928. Aisyiyah juga turut menginisiasi terbentuknya federasi organisasi wanita pada tahun 1928. Berorientasi pada perjuangan membebaskan masyarakat dari belenggu penjajahan dan kebodohan, badan federasi ini selanjutnya menjadi KOWANI (Kongres Wanita Indonesia). Melalui KOWANI, Aisyiyah mengejawantahkan misi dakwah amar makruf nahi munkar (Nashir, 2016:369).
Hari ini telah banyak dirasakan buah hasil kerja Aisyiyah mulai dari TK Aisyiyah Bustanul Athfal hingga Universitas Aisyiyah, Aisyiyah tercatat sebagai satu-satunya organisasi perempuan yang mempunyai universitas di Indonesia. Eksistensi Aisyiyah di berbagai lini ini patut kita sematkan gelar yang lebih dalam tidak hanya Srikandi, tapi Khadijah, Kartini dan berbagai perjuangan secara holistik telah ditunjukkan oleh Aisyiyah dalam berbagai aspek perjuangannya.
———
Penulis: Dr. dr. Sukadiono, MM; Ketua PWM Jawa Timur dan Rektor Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya
Artikel ini sudah pernah dipublikasikan dengan judul yang sama di Majalah MATAN edisi 219 Oktober 2024