PENGAMAT Politik Universitas Airlangga (Unair) Aribowo menyebut bahwa interaksi dan relasi di dunia maya dalam fenomena politik menjadi semakin intensif dan bisa berpengaruh terhadap proses kontestasi, hingga pembentukan public policy.
Menurut dia, hal itu berbanding lurus dengan semakin masif dan kuatnya pengaruh internet dan media sosial terhadap berbagai aspek, termasuk politik. Banyak proses kebijakan atau public policy dan proses-proses politik yang dipengaruhi oleh perdebatan dan opini publik yang terjadi di media sosial.
”Misalnya saja ada beberapa kasus terakhir, masalah korupsi lebih dari Rp 300 triliun yang diungkap Prof Mahfud MD itu, lalu kasus pencucian uang di Dirjen Pajak, termasuk kasus Ferdy Sambo, itu semua kan juga dipengaruhi oleh perdebatan publik di media sosial,” terang Aribowo kepada Maklumat.id.
Dosen FISIP Unair itu berpendapat, dengan semakin berkembangnya teknologi informasi dan media sosial membuat para politisi dan pejabat publik untuk semakin sadar dan melek terhadap pentingnya lini digital serta penguasaan ruang dunia maya. Itu termasuk dalam kontestasi sebagai sarana membangun citra dan kampanye, sehingga ke depan diyakini pertarungan dan perdebatan di dunia maya akan semakin menggeliat.
”Kalau di Indonesia perubahan atau pergeseran itu kan masih tergolong baru, tapi kalau di Amerika itu sudah lama terjadi, sebagian besar perdebatan dan pertarungan politik itu terjadi di dunia maya, bukan melalui poster, baliho, atau spanduk di jalanan,” ungkapnya.
Dia melanjutkan, kesadaran dan kemampuan para politikus semakin membaik dan merata dalam hal digitalisasi. Dia mencontohkan, kalau dulu kampanye dilakukan dengan menggelar melalui acara, dangdutan, konvoi, bahkan sampai memblokir jalan, sekarang perilaku kampanye dan perilaku kandidat itu mulai berubah dan beralih ke kampanye media sosial untuk menguasai ruang-ruang digital.
Menurut pria yang juga menjabat Ketua Majelis Pustaka, Informatika dan Digitalisasi (MPID) PWM Jatim itu, saat ini semua pihak sangat bergantung pada media sosial dan gadget, sehingga menjadi sebuah keniscayaan pentingnya penguasaan terhadap public opinion di media sosial. “Itu kan bisa dilihat dari jumlah kepemilikan gadget, kepemilikan akun medsos, yang jumlahnya bahkan melebihi jumlah penduduk Indonesia,” katanya.
Meski kesadaran terhadap pentingnya media sosial, Aribowo juga menyoroti tentang fenomena buzzer yang menurutnya semakin menggila dalam menggiring dan menguasai perdebatan opini di dunia maya sebagai imbas dari peralihan perilaku kampanye dan pembangunan citra kandidat di ruang maya.
“Buzzer digunakan untuk menggiring opini publik, yang menjustifikasi rezim, sehingga tidak ada kritik terhadap rezim yang berkuasa. Hampir tidak ada media mainstream yang memberitakan atau mengkritik rezim,” tegasnya.
Bagi Aribowo, salah satu tanda sehatnya demokrasi itu adalah memberikan ruang yang leluasa kepada pihak oposisi untuk berkembang, bukan dikebiri, digebuki, dan dikriminalisasi, dan sebagainya. “Nah, kondisi rezim hari ini diciptakan sedemikian rupa, sehingga semua berada dalam satu gerbong, yang kemudian itu berdampak juga pada perilaku di media itu tadi, di mana tidak ada media yang kritis terhadap pemerintah,” ujarnya. (*)
Reporter: Ubay
Editor: Aan Hariyanto