INDONESIA adalah republik-nya anak muda. Penggerak bangsa ini sedari dulu selalu anak muda, mulai dari aliran kanan hingga kiri. Anak muda memang punya kemampuan mengkreasi sejarah. Itulah yang disampaikan Dimas Oky Nugroho, aktivis masyarakat sipil dalam diskusi Muda Inklusif: Kemerdekaan Anak Muda di Tahun Politik 2024.
Dalam diskusi yang dilaksanakan Masif (muda inklusif) di Kampung Mahasiswa Malang, Dau, Kabupaten Malang tersebut, Kamis sore (17/8), dihadirkan pula aktivis muda Muhammadiyah Subhan Setowara dan filsuf Muhammadiyah Ahmad Norma Permata.
”Narasi Masif, muda inklusif, lawannya adalah muda eksklusif. Ini bisa menjadi kekuatan bersama. Agar dapat menjadi bargain,” kata Dimas Oky yang juga merupakan Dewan Penasihat Masif bersama Subhan Setowara. ”Anak muda perlu membangun keseimbangan,” lanjutnya.
Lalu narasi apa yang perlu dibangun? Menurut dia, perlu ditemukan masalah bersama, bisa lokal maupun global. ”Anak muda bukan hanya melihat yang sekarang, melainkan juga masa depan. Apa kepentingan anak muda sekarang: Pendidikan,” jelas Dimas Oky.
Adapun Subhan menambahkan, anak muda memang perlu narasi yang kuat dan massif. ”Sekarang dengan keberadaan media sosial, semua bisa berperan. Bisa tampil. Namun, memainkan narasi harus berbasis pada analisis data, fenomena, dan fakta keseharian,” ujar dosen Hubungan Internasional UMM tersebut.
”Dalam konteks politik, saat ini persoalan integritas menjadi penting untuk diangkat. Lalu terkini, isu terkait kebencian dan perpecahan. Sehingga mengangkat isu pemilu damai seperti yang dilakukan saat refleksi Rengsdengklok menjadi penting,” kata Subhan.
Ya, pada Rabu dini hari (16/8), Masif mengadakan refleksi di tujuh kota dengan melibatkan ratusan anak muda dari berbagai elemen. Salah satu isu penting yang mereka suarakan adalah pemilu damai dan netralitas penyelenggara Pemilu 2024.
Sementara itu, Ahmad Norma Permata mengawali diskusi dengan membicarakan zeitgeist. Dalam bahasa Jerman, zeit berarti waktu dan geist adalah jiwa. ”Semangat zaman yang selalu muncul ketika sejarah berbelok dan peristiwa tak biasa terjadi,” katanya.
Dalam sejarah, yang muncul selalu anak muda. ”Sumpah pemuda, Rengasdengklok, dan masih banyak peristiwa sejarah lainnya. Dan itu bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di negara lain,” terang PhD ilmu politik dan antropologi dari Universitas Munster Jerman itu.
Pesan dia yang lain adalah, lawan kata dari perang bukanlah damai, melainkan dagang. ”Itulah yang terjadi dalam sejarah panjang dunia,” ujarnya. ”Kita perlu belajar dari masa lalu dan tidak perlu dari nol semua,” jelas dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tersebut. (*)
Reporter: Muhammad Iqbal
Editor: Mohammad Ilham