Konflik Israel – Iran Berlanjut, Ancaman Krisis Global di Depan Mata

Konflik Israel – Iran Berlanjut, Ancaman Krisis Global di Depan Mata

MAKLUMAT — Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Kumara Adji Kusuma, menyampaikan pandangannya soal potensi dampak yang akan ditimbulkan jika eskalasi konflik Israel dan Iran terus berlanjut. Dikhawatirkan perang kedua musuh bebuyutan itu bakal memicu krisis global, terutama di sektor energi, bahkan berpeluang meluas menjadi konflik regional dan menyeret sejumlah negara ikut terlibat secara langsung.

Seperti diketahui, konflik Israel dan Iran pecah ketika pasukan Tel Aviv melancarkan serangan udara dengan melibatkan ratusan jet tempur pada Jumat (13/6/2025) dini hari, menargetkan sejumlah fasilitas militer dan nuklir Iran, termasuk menyasar Ibu Kota Negeri Para Mullah itu, Teheran. Sejumlah tokoh militer—termasuk Komandan Tertinggi Korps Garda Revolusi Islam (IRGC)—dan beberapa ilmuwan nuklir Iran tewas dalam gempuran Israel tersebut.

Merespon hal itu, Pemimpin Tertinggi (Rahbar) Iran Ayatollah Ali Khamenei, hingga Presiden Masoud Pezeskhian menegaskan bakal menanggapi dengan keras. Tak butuh waktu lama, pada Jumat malam, ratusan drone dan rudal Teheran menggempur sejumlah wilayah di Israel, termasuk Tel Aviv, hingga Yerusalem.

Aksi saling serang kedua negara tersebut masih terus berlangsung hingga hari ini Senin (16/6/2025) memasuki hari keempat. Total ratusan korban jiwa dan luka-luka, serta berbagai fasilitas infrastruktur rusak bahkan hancur, baik di sisi Iran maupun Israel.

Dosen Umsida, Kumara Adji Kusuma. (Foto: IST)
Dosen Umsida, Kumara Adji Kusuma. (Foto: IST)

“Dalam lanskap geopolitik timur tengah yang terus bergolak, Israel kembali mengguncang stabilitas kawasan dengan melancarkan serangan udara mendadak ke sejumlah wilayah strategis di Iran, termasuk yang diduga sebagai fasilitas pengembangan nuklir. Serangan ini, yang diberi nama ‘Operation Rising Lion‘, dilakukan secara sepihak dan nyaris tanpa peringatan, seolah menjadi penegasan terbaru bahwa Israel siap bergerak lebih dulu jika menyangkut ancaman eksistensial—khususnya senjata nuklir di tangan musuh bebuyutan mereka, Iran,” ujar Adji kepada Maklumat.ID, Senin (16/6/2025).

“Langkah Israel ini terjadi di tengah kebuntuan diplomatik antara Teheran dan Washington mengenai kelanjutan program nuklir Iran. Di saat pembicaraan tidak resmi di Oman mulai menunjukkan tanda-tanda hidup, serangan Israel justru memutus jalur komunikasi dan menciptakan atmosfer baru: bukan negosiasi, tetapi konfrontasi. Dari sudut pandang Israel, mereka memiliki alasan strategis: intelijen menunjukkan bahwa Iran telah memperkaya cukup uranium untuk membuat sembilan hulu ledak nuklir. Dalam kacamata Tel Aviv, ini bukan lagi sekadar ancaman potensial, melainkan krisis waktu,” sambungnya.

Baca Juga  Survei LSI: Mayoritas Masyarakat Puas Terhadap Penyelenggaraan Pemilu 2024

Namun, lanjut Adji, dari sisi Iran dan sebagian besar pengamat ‘netral’, memandang dan menilai tindakan Israel sebagai provokasi yang sengaja dirancang untuk menggagalkan proses damai dan memaksakan kehendaknya atas komunitas internasional. Memaksa Teheran merespons dengan meluncurkan ratusan drone dan rudal ke wilayah Israel sebagai balasan—eskalasi terbuka pertama sejak perang melalui proksi menjadi ciri konflik kedua negara dalam dua dekade terakhir.

Menurut pria yang juga menjabat Kepala Sekretariat Umsida itu, dalam kerangka geopolitik yang lebih luas, tindakan Israel dapat dibaca sebagai bentuk doktrin baru di timur tengah, yakni dengan tidak hanya menjaga batas wilayah, tetapi juga menyerang jantung negara musuh bila dianggap perlu.

“Hal ini menggeser batas-batas konvensional konflik regional dan menunjukkan bahwa Israel kini berani melakukan aksi militer terbuka terhadap negara berdaulat tanpa menunggu dukungan formal dari mitra seperti Amerika Serikat,” sorot Adji.

Potensi Menyeret Negara Lain Terlibat

Tak hanya itu, Adji berpendapat bahwa posisi AS sebagai Sekutu utama Israel juga tengah berada dalam situasi cukup dilematis dan kompleks. Bahkan, ia mengaku khawatir jika konflik kedua negara tersebut bakal menyeret pesar regional yang melibatkan banyak negara lain.

“Di satu sisi, Washington memahami kekhawatiran Israel atas kemungkinan senjata nuklir Iran, namun di sisi lain, aksi militer ini merusak semua upaya diplomasi yang sedang dibangun—dan berpotensi menyeret kawasan ke jurang perang besar yang bisa melibatkan kekuatan regional lain seperti Arab Saudi, Suriah, Irak, bahkan Rusia dan Tiongkok dalam dinamika yang lebih rumit,” ungkapnya.

Aksi Israel, kata Adji, juga membawa pesan simbolik tertentu, bahwa mereka tidak akan membiarkan musuhnya mencapai kapasitas nuklir meski hanya sebatas teori, yang pada sisi lain memunculkan pertanyaan apakah langkah tersebut sudah tepat?

Baca Juga  Ketua BKSAP DPR Desak Dunia Segera Hentikan Kebrutalan Israel di Gaza

“Namun, strategi ini membawa risiko besar—bukan hanya terhadap stabilitas regional, tetapi juga terhadap masa depan keamanan global. Yang jadi pertanyaan: apakah serangan ini benar-benar mencegah ancaman, atau justru mempercepatnya?”

Ancaman Krisis Energi Global

Lebih lanjut, Adji menilai bahwa aksi saling serang menggunakan senjata-senjata canggih dan presisi tinggi yang dilakukan Israel dan Iran—terutama terhadap fasilitas dan infrastruktur energi—dapat mengakibatkan dampak yang membahayakan bagi dunia.

“Ketika konflik Israel–Iran meletus ke level terbuka, dan kedua negara mulai menyasar infrastruktur energi, dunia langsung terpukul oleh gelombang ketidakpastian. Pangkalan-pangkalan minyak, kilang gas, dan pipa distribusi yang sebelumnya menjadi jantung ekonomi kawasan, kini menjadi target militer,” sebutnya.

Bukan tanpa alasan, kekhawatiran tersebut lantaran kedua negara—terutama Iran—adalah produsen minyak. Bahkan, ancaman Teheran untuk memblokade Selat Hormuz tentu bakal membuat dunia kelabakan, karena sebagian besar pasokan minyak global melalui jalur tersebut.

Sekadar informasi, Selat Hormuz adalah jalur laut sempit di dekat Teluk Persia, di mana ‘hampir’ sepanjang pesisir pantai dikendalikan oleh Iran. Jalur laut ini sangat strategis dan menjadi penghubung utama lebih dari sekitar 20% pasokan minyak mentah dunia.

Selat Hormuz bukan hanya jalur air biasa. Ia adalah urat nadi energi global: setiap hari, lebih dari 17 juta barel minyak melewati perairan ini, berasal dari negara-negara kaya minyak seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Qatar, maupun Iran sendiri.

“Jika jalur ini terganggu, dunia tidak hanya menghadapi gangguan logistik, tetapi juga potensi krisis energi besar-besaran,” tandas Adji.

“Jika Iran benar-benar memblokade selat itu dan perang meluas, dunia akan menghadapi krisis energi yang (mungkin) jauh lebih besar dari Perang Ukraina–Rusia,” imbuhnya.

Jika situasi tersebut benar-benar terjadi, menurut Adji hanya terdapat dua opsi respons dunia, yang keduanya merupakan pilihan yang sulit, yakni:

  • Jalan militer: membuka Selat Hormuz dengan kekuatan militer atau konfrontasi senjata, yang berisiko memperluas perang; atau
  • Jalan diplomatik cepat: gencatan senjata yang ditengahi oleh kekuatan besar, seperti Tiongkok atau Turki.

“Satu hal yang pasti, semakin lama konflik ini berlangsung, semakin besar dunia membayar harganya—dalam bentuk energi, stabilitas, dan keamanan,” tegas Adji.

Baca Juga  Aksi Bela Palestina Dihadiri Gubernur Jatim, Anggota DPR RI dan Puluhan Ribu Warga

Potensi Meluas, Picu Perang Dunia 3?

Lebih jauh, jika perang terbuka Israel dan Iran terus berlanjut, Adji menilai potensi eskalasi bakal meluas menjadi perang regional terbuka cukup tinggi dan sangat mungkin terjadi. Terlebih, negara-negara besar sekutu Israel seperti AS, Inggris, hingga Prancis memiliki cukup banyak pangkalan militer yang tersebar di negara-negara timur tengah.

Perang regional terbuka sangat mungkin terjadi. Dengan keterlibatan AS, Inggris, dan milisi-milisi regional, timur tengah bisa menjadi zona tempur multinasional,” jelasnya.

Bahkan, Adji menilai potensi konflik Israel dan Iran berkembang menjadi perang dunia bisa saja terjadi, meskipun mungkin peluangnya saat ini masih terbatas. Namun, tentu kemungkinan buruk semacam itu tidak bisa dikesampingkan. Mengingat selain front timur tengah, front Eropa juga masih bergejolak oleh perang Rusia-Ukraina, sementara di front lainnya, di Asia Selatan hubungan India-Pakistan sedang cukup panas setelah serangkaian serangan bulan lalu.

“Jika tiga front (Timur Tengah–Eropa–Asia) menyala bersamaan dan tak terkendali, maka kita benar-benar berada di ambang krisis global terbesar sejak (perang dunia kedua berakhir) 1945,” sebut Adji.

Genting, Tapi Masih Ada Harapan

Adji menilai, dunia kini tengah berada di persimpangan paling genting dalam dua dekade terakhir. Jika diplomasi gagal dan blok-blok militer saling mengunci target, maka apa yang dimulai sebagai konflik regional bisa berubah menjadi babak baru dalam sejarah peradaban, yakni pecahnya Perang Dunia Ketiga.

“Namun harapan masih ada—selama aktor-aktor besar di dunia sadar bahwa kemenangan di medan perang tak pernah sebanding dengan harga yang dibayar oleh umat manusia,” pungkas Adji.

*) Penulis: Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *