MAKLUMAT — Pemandangan tak biasa terjadi di kantor Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, Selasa (17/6/2025). Ruang konferensi pers mendadak berubah menjadi lautan uang tunai. Tumpukan uang kertas hampir memenuhi seluruh ruangan, menjadi latar konferensi pers penyitaan uang hasil tindak pidana korupsi fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan turunannya pada industri sawit tahun 2022.
Tim Penuntut Umum dari Direktorat Penuntutan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) Kejagung menyita uang senilai Rp11.880.351.802.619 atau Rp11,8 triliun. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Dr. Harli Siregar, S.H, M.Hum menjelaskan bahwa uang tersebut berasal dari lima korporasi yang terlibat dalam perkara korupsi ekspor CPO.
Kelima terdakwa korporasi tersebut ialah:
- PT Multimas Nabati Asahan dengan kerugian negara sebesar Rp3.997.042.917.832,42
- PT Multi Nabati Sulawesi sebesar Rp39.756.429.964,94
- PT Sinar Alam Permai sebesar Rp483.961.045.417,33
- PT Wilmar Bioenergi Indonesia sebesar Rp57.303.038.077,64
- PT Wilmar Nabati Indonesia sebesar Rp7.302.288.371.326,78
Total kerugian negara mencapai Rp11,8 triliun yang mencakup kerugian keuangan negara, illegal gain, serta kerugian pada perekonomian nasional. Kejagung menyita dana tersebut berdasarkan Penetapan Izin Penyitaan dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 40/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst tertanggal 4 Juni 2025.
Meski majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat sebelumnya memutus kelima perusahaan dengan vonis lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging), Penuntut Umum tetap menempuh jalur hukum lanjutan melalui upaya kasasi.
Dalam prosesnya, kelima korporasi mengembalikan seluruh uang kerugian negara tersebut ke rekening penampungan JAM PIDSUS pada Bank Mandiri pada 23 dan 26 Mei 2025. Kejagung langsung melakukan penyitaan terhadap dana itu demi kepentingan pemeriksaan di tingkat kasasi.
Memori Kasasi
Tim Penuntut Umum juga mengajukan tambahan memori kasasi, dengan mencantumkan keberadaan uang sitaan senilai Rp11,8 triliun sebagai bukti tambahan. Harapannya, Mahkamah Agung mempertimbangkan uang tersebut sebagai bentuk kompensasi untuk menutup seluruh kerugian negara akibat korupsi ekspor sawit.
“Uang tersebut kami minta dikompensasikan untuk mengganti seluruh kerugian negara,” ujar Harli.
Dengan langkah ini, Kejagung menegaskan komitmennya dalam menyelamatkan aset negara dan memberantas korupsi korporasi berskala besar di sektor strategis seperti sawit.