Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal, Sosiolog Politik Unesa: Sangat Ideal

Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal, Sosiolog Politik Unesa: Sangat Ideal

MAKLUMAT — Sosiolog politik dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Agus Machfud Fauzi, menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Pemilu nasional dan lokal/daerah, sebagai keputusan yang ideal dan optimis bakal berimplikasi positif bagi demokrasi Indonesia.

Berbicara kepada Maklumat.ID pada Jumat (27/6/2025), Agus berpendapat bahwa cara pandang para hakim konstitusi berbeda dengan cara pandang partai politik dan elitenya.

Menurut dia, putusan MK yang mengakhiri model Pemilu serentak lima kotak seperti di 2019 dan 2024 itu, sesuai dengan keinginan dan aspirasi masyarakat.

“Putusan MK itu menurut saya sangat ideal. Mengapa? Ini sebuah jawaban dari cara pandang para hakim Mahkamah Konstitusi, yang berbeda dengan cara pandang partai politik. Jadi sifatnya bagaimana ini berbicara sesuai dengan sebuah aspirasi masyarakat,” ujarnya.

Pemilu 2024 Tidak Berjalan Baik

Lebih lanjut, Agus menilai bahwa praktik model Pemilu serentak lima kotak, serta penyelenggaraan Pilkada di tahun yang sama seperti pada tahun 2024 tidak berjalan dengan baik.

Ia menyebut, Putusan MK tersebut sekaligus menjadi jawaban untuk bagaimana mewujudkan Pemilu yang lebih baik dan lebih optimal.

“Memang partai politik pada substansinya sebagai tempat untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat, hanya dalam prosesnya penentuan terkait dengan Pilkada, Pileg, Pilpres, yang kemarin seperti di 2024, niatnya awalnya bagaimana meringkas sehingga ada semacam sinergitas antara pemerintahan daerah dan pemerintahan pusat, tetapi ternyata trial and error kemarin (di 2024) masih menemukan hal yang tidak diinginkan,” sebutnya.

Baca Juga  Kontribusi Muhammadiyah Itu Nyata, Bukan Sekadar Urusan Pilpres

“Sehingga ketika ada judicial review di Mahkamah Konstitusi memutuskan bagaimana sinergitas antara DPRD dengan Bupati/Wabup, kemudian Pemilu nasional dengan presiden, itu merupakan jawaban dari bagaimana terjadi sinergitas dalam pelaksanaan Pemilu,” sambung Agus.

Penyelenggara Pemilu dan Sinergi Eksekutif-Legislatif

Selain itu, dosen Unesa itu juga menyorot bahwa pemisahan Pemilu nasional dan lokal/daerah dengan rentang atau jeda waktu paling singkat dua tahun bakal mampu mengoptimalkan peran penyelenggara Pemilu.

Menurut dia, dalam gelaran Pemilu 2024 para penyelenggara Pemilu terlalu terbebani dengan tugas yang berat, karena lima pemilihan tersebut menjadi satu.

Tak hanya itu, pemisahan Pemilu nasional dan lokal/daerah oleh Putusan MK tersebut diharapkan dapat membangun sinergi yang lebih baik antara legislatif dan eksekutif dalam pengelolaan negara dan pemerintahan daerah. Sehingga isu-isu daerah/lokal tidak tertinggal atau tertutupi oleh isu-isu nasional.

“(Kemudian) Adalah bagaimana terkait dengan penyelenggara itu bisa fokus terkait dengan apa yang menjadi tugasnya, tidak terlalu terbebani dengan (Pemilu) yang jadi satu,” tandasnya.

“Dan yang lebih penting lagi adalah ada sebuah harapan sinergi antara legislatif sama eksekutif dalam pengelolaan negara dan pemerintahan daerah,” imbuh Agus.

Sebab itu, Agus sekali lagi menegaskan optimismenya bahwa Putusan MK tersebut akan membawa implikasi positif bagi demokrasi Indonesia. Termasuk, harapannya dapat menghasilkan kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak kepada rakyat, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Baca Juga  JipolMu#2, Ikhtiar Satu Dapil Satu KaderMu, dan Problem Ketaatan

“Saya melihat terkait dengan hal itu secara positif dan implikasinya adalah juga akan menghasilkan kebijakan yang positif, baik di level nasional maupun juga daerah. Dan kemudian hal ini akan menyatukan antara pemerintahan di level masing-masing, antara legislatif dan eksekutif,” tandasnya.

“Intinya bagaimana penguasa itu memang berdasarkan aspirasi masyarakat yang sebenarnya, dan antara legislatif dan eksekutif itu tidak misalkan berbeda aspirasi, tapi bagaimana memenuhi amanat rakyat itu secara bersama,” pungkas Agus.

Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusannya terhadap perkara nomor 135/PUU-XXII/2024, yang memutuskan bahwa penyelenggaraan Pemilu bakal dipisahkan antara nasional dan daerah/lokal.

Pemilu nasional bakal dilangsungkan pada 2029, mencakup pemilihan Presiden/Wapres, DPR RI, dan DPD RI. Sedangkan Pemilu lokal/daerah dilakukan paling singkat dua tahun atau paling lambat dua tahun enam bulan usai Pemilu nasional. Pemilu daerah mencakup pemilihan Gubernur/Wagub, DPRD Provinsi, Bupati/Wabup atau Wali Kota/Wakil Wali Kota, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Mahkamah juga menyoroti dampak negatif dari jadwal Pemilu yang berdekatan dan tumpang tindih, terutama terhadap isu-isu pembangunan daerah. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa hal ini membuat rakyat tidak memiliki cukup waktu untuk menilai kinerja hasil Pemilu nasional sebelum Pilkada digelar.

“Masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu/masalah pembangunan di tingkat nasional,” kata Saldi.

Baca Juga  KPU Tegaskan Caleg Terpilih yang Dilantik Harus Mundur Jika Maju Pilkada 2024

Tak hanya itu, Saldi juga menegaskan bahwa Mahkamah mempertahankan konstitusionalitas seluruh model penyelenggaraan pemilu yang selama ini dijalankan, sembari mendorong perbaikan lewat reformasi undang-undang.

“Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” tandas Saldi.

*) Penulis: Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *