Fenomena Rojali: Cara Bertahan Kelas Menengah dan Menengah Bawah

Fenomena Rojali: Cara Bertahan Kelas Menengah dan Menengah Bawah

MAKLUMAT — Fenomena Rombongan Jarang Beli alias Rojali, bukan sekadar ujaran yang sedang viral di media sosial. Hal tersebut sebagai implikasi dari kondisi ekonomi yang kian sulit akhir-akhir ini. Dalam artian, pendapatan stagnan sementara biaya hidup makin meningkat dan bahkan melonjak layaknya bukit terjal. Mulai dari inflasi tahunan yang kian menggerus pendapatan bulanan, pertambahan biaya hidup keluarga, generasi sandwich, dan lain sebagainya.

Tentu, kondisi tersebut menjadi masalah krusial bagi masyarakat kelas menengah dan menengah bawah, dengan gaji pas-pasan—pas terima gaji, pas di hari itu juga sudah habis karena harus dibagi-bagi sesuai pos alokasi kebutuhan hidup. Bagi masyarakat kelas menengah atas, mungkin rasa-rasanya tak akan masuk dalam kelompok Rojali. Tapi, masyarakat kelas menengah dan menengah bawah, akan sangat merasakan hal tersebut. Bahkan yang kadang membuat nyesek dada, besar pasak daripada tiang setiap bulannya.

Kelas Menengah dan Menengah Bawah

Hamli Syaifullah
Hamli Syaifullah

Kelas menengah dan menengah bawah, itu siapa saja? Ada banyak penggolongan kelas menengah dan menengah bawah bila kita mungkin coba cek di google. Misalnya, ada yang menggolongkan kelas menengah ialah kelas masyarakat dengan pendapatan antara Rp 1.000.000 hingga Rp 6.000.000 per bulan. Artinya, kelas menengah bawah ialah kelas yang memiliki pendapatan di bawah dari angka tersebut. Dengan demikian, orang-orang yang memiliki pendapatan Rp 1.000.000 hingga Rp 6.000.000 masuk dalam kategori kelas menengah. Sementara kelas menengah bawah ialah masyarakat yang memiliki pendapatan di bawah Rp 1.000.000.

Lantas, apa hubungannya kelas menengah dan menengah bawah dengan Fenomena Rojali? Sangat berhubungan, karena Rojali ialah salah satu jurus yang bisa dilakukan oleh masyarakat kelas menengah dan menengah bawah untuk dapat bertahan hidup. Pasalnya, hanya dengan cara tersebut untuk menjadikan kondisi ekonomi dan keuangan keluarga dapat bertahan di tengah gempuran ekonomi yang semakin kian sulit.

Baca Juga  Meningkatkan Kualitas Demokrasi Indonesia: Agenda Pembangunan yang Holistik

Bahkan yang sangat nampak, misalnya banyak di kalangan karyawan hari ini bawa bekal makan siang dari rumah, bawa tambler kanan kiri di tas untuk isi air dan kopi, cemilan dari rumah, dan beberapa cara bertahan lainnya kala berada di tempat kerja. Fenomena tersebut, mungkin sebelumnya tak pernah dilakukan. Tetapi, hal tersebut kemudian dilakukan, demi mengurangi biaya hidup saat berada di tempat kerja.

Memang sangat sederhana, makan siang dan minum kopi barangkali hanya menghabiskan beberapa rupiah saja bila makan dan minum di Warteg ataupun Warkop. Akan tetapi, bila dikalikan sebanyak 20 hingga 26 hari masa kerja, biayanya akan cukup besar dan membengkak. Maka, dengan membawa bekal dari rumah, akan menjadi salah satu cara penghematan yang bisa dilakukan, di tengah-tengah gaji dan pendapatan yang stagnan. Sehingga pendapatan dapat memenuhi biaya hidup bulanan.

Fenomena tersebut, tak hanya terjadi di kalangan karyawan, kalangan mahasiswa juga banyak melakukan itu. Dimana, mereka bawa bekal untuk sekedar makan siang dan juga tambler yang isinya air dan ada juga yang mungkin berisi kopi atau teh. Ini, beberapa kali penulis temukan saat di kelas bagi mahasiswa yang diajar. Mungkin saja, ini salah satu bentuk penghematan imbas dari pendapatan orang tua mereka yang juga sedang stagnan. Sehingga mereka tetap bisa bertahan kuliah, dengan cara sedikit lebih hemat.

Itu, hanya beberapa contoh saja, bagaimana perilaku konsumen dari kalangan kelas menengah dan menengah bawah saat ini. Dan bahkan mungkin, model penghematan yang dilakukan oleh kelas menengah dan menengah bawah, masih banyak lagi contoh lainnya. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menyinkronkan besaran pendapatan dengan biaya hidup yang harus dikeluarkan setiap bulannya. Sehingga pendapatan bulanan akan mampu membiayai kebutuhan hidup selama satu bulan.

Baca Juga  Rakyat Dikorbankan Demi Kenyamanan Aparat: Kritik atas Pembangunan Mes-Kejari dan Asrama Polres Bima Kota

Imbas Rojali Terhadap Perputaran Ekonomi

Fenomena Rojali atau Rombongan Jarang Beli merupakan jurus jitu yang dilakukan oleh masyarakat kelas menengah dan menengah bawah sebagai upaya untuk dapat bertahan hidup di tengah gempuran ekonomi yang kian sulit. Pertanyaannya ialah, apakah fenomena tersebut memberikan dampak signifikan terhadap perputaran ekonomi di kalangan masyarakat? Tentu saja, fenomena tersebut akan memberikan dampak signifikan terhadap perputaran ekonomi masyarakat, baik lingkup lokal ataupun nasional. Karena dengan adanya fenomena Rojali membuat produk dan jasa yang beredar di masyarakat menjadi lebih lama terserap oleh pasar konsumen.

Pada saat produk dan jasa menjadi lebih lama terserap oleh pasar konsumen, perlahan-lahan hal tersebut akan memberikan dampak signifikan terhadap perlambatan laju pertumbuhan ekonomi. Ekonomi akan melambat seiring semakin meningkatnya fenomena Rojali di kalangan masyarakat. Bila hal tersebut tidak segera ditangani dengan penuh serius oleh pemerintah, hawatir akan semakin banyak produsen yang menghasilkan produk atau jasa gulung tikar. Karena, produk dan jasa yang dihasilkan tak laku di pasar, disebabkan masyarakat sedang menggunakan pola hidup Rojawli.

Keberadaan fenomena Rojali tidak dapat kita salahkan, karena itu merupakan salah satu cara bertahan bagi masyarakat kelas menengah dan menengah bawah. Pada dasarnya, kelas menengah dan menengah bawah, akan membelanjakan uangnya untuk membeli produk dan jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, dari apa yang mereka dapatkan. Tetapi, bila kondisi pendapatan mereka sangat seret dan mampet seperti saat sekarang ini, pastinya Fenomena Rojali akan terus berkepanjangan, sebagai cara untuk dapat bertahan hidup.

Baca Juga  KKN itu Belajar Hidup, Bukan Cuma Soal Program Kerja

Dengan demikian, agar fenomena Rojali tidak berkepanjangan, pemerintah harus segera mencarikan jalan keluar. Salah satu jalan keluar cukup instan ialah memberikan insentif kepada masyarakat kelas menengah dan menengah bawah, baik insentif yang diberikan di tempat kerja oleh pemilik pekerjaan ataupun yang diberikan langsung oleh negara. Sehingga dari insentif tersebut, kelas menengah dan menengah bawah akan mampu menyerap produk dan jasa yang dihasilkan para produsen.

Ekonomi Sedang Tidak Baik

Keberadaan Fenomena Rojali yang akhir-akhir ini mencuat di media sosial, menjadi salah satu tanda bahwa kondisi ekonomi masyarakat Indonesia sedang tidak baik-baik saja—terkhusus bagi masyarakat kelas menengah dan menengah bawah. Kelas menengah dan menengah bawah yang hanya bisa membawa pulang uang dengan kisaran Rp 6.000.000-an bagi kelas menengah dan menengah bawah di bawah Rp 1.000.000-an, tentu harus terus memutar otak untuk dapat bisa membiayai hidupnya selama satu bulan.

Keberadaan insentif yang diberikan, baik oleh pihak pemberi kerja di tempat kerja ataupun oleh pemerintah, sedikit banyak akan mampu menolong kondisi ekonomi masyarakat. Tentu keberadaan insentif ialah jalan instans dengan dampak jangka pendek ialah sebagai stimulus memperbaiki daya beli masyarakat agar produk dan jasa yang beredar di masyarakat segera terserap oleh pasar konsumen. Sementara untuk jangka panjang, pemerintah harus mulai memikirkan untuk menghilangkan Fenomena Rojali dengan menaikkan pendapatan masyarakat untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih bernilai (value added).

_________________

*) Artikel ini sudah pernah dipublikasikan di laman resmi Universitas Muhammadiyah Jakarta

*) Penulis: Hamli Syaifullah
Dosen Prodi Perbankan Syariah FAI UMJ; Wakil Ketua PCM Bojongari Kota Depok

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *