Lambannya Proses RUU Perampasan Aset, Publik Menunggu Keseriusan DPR dan Pemerintah

Lambannya Proses RUU Perampasan Aset, Publik Menunggu Keseriusan DPR dan Pemerintah

MAKLUMAT — Aksi massa besar-besaran di berbagai daerah di Indonesia yang berlangsung pada 25-31 Agustus 2025 lalu, menggulirkan 17+8 tuntutan rakyat, termasuk percepatan pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset. Meski awalnya luput dari enam poin tanggapan DPR, rancangan regulasi ini akhirnya resmi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.

Kepastian itu datang setelah Badan Legislasi (Baleg) DPR menggelar Rapat Evaluasi Prolegnas 2025 bersama Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Atgas dan Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU). Dua RUU lain yang ikut diusulkan ke daftar prioritas adalah RUU Kamar Dagang dan Industri (Kadin) serta RUU Kawasan Industri.

Menanggapi hal tersebut, Dosen Fakultas Hukum dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Dr Muchamad Iksan SH MH, menilai penegakan hukum tak cukup hanya menghukum pelaku korupsi dengan penjara. Lebih penting, negara harus memastikan kerugian keuangan publik bisa dipulihkan.

“Negara dan masyarakat itu memerlukan bagaimana kerugian negara dipulihkan, dikembalikan. Itu tidak kalah penting dengan dipidananya pelaku,” ujar Iksan, dilansir dari laman resmi UMS pada Sabtu (13/9/2025).

Memulihkan Kerugian Negara Akibat Korupsi

Iksan menjelaskan, RUU Perampasan Aset pertama kali disusun pada 2008, yang salah satunya bermaksud untuk memperluas wewenang negara menyita harta hasil korupsi. Mekanisme ini diyakini dapat menutup celah kerugian negara yang selama ini sulit dipulihkan.

Baca Juga  Siap Adu Gagasan, WALI Tawarkan 'Dasabakti Unggulan' untuk Kota Malang

“Dengan mekanisme itu, kerugian negara tidak berhenti di angka kecil yang jauh dari nilai sebenarnya. Kan selama ini uang pengganti selalu lebih kecil. Saya tidak tahu kenapa? Misalnya saja, kasus korupsi merugikan negara Rp100 triliun. Terdakwanya 5, tetapi uang pengganti dari 5 terdakwa tidak pernah sama dengan Rp100 triliun kerugian negara,” katanya.

Dalam praktik hukum pidana saat ini, penyitaan hanya bisa dilakukan pada benda yang terbukti terkait tindak pidana. Padahal, nilai barang sitaan sering jauh dari kerugian negara. “Kalau kerugian negara 100 miliar, yang berhasil disita paling hanya 30 miliar. Sisanya sulit dieksekusi,” tambahnya.

RUU ini, lanjut Iksan, memperkenalkan konsep unexplained wealth atau kekayaan yang asal-usulnya tidak wajar. Negara dapat merampas aset semacam ini tanpa harus menunggu putusan pengadilan yang inkrah, sehingga proses pemulihan bisa lebih cepat.

Polemik dan Kekhawatiran

Sebagian kalangan menilai RUU Perampasan Aset berpotensi melanggar asas praduga tak bersalah. Namun, Iksan menepis anggapan-anggapan dan kekhawatiran tersebut.

“Ini bukan untuk menghukum sebelum terbukti, tapi untuk mengamankan aset agar bisa dikembalikan ke negara,” tandasnya.

Meski demikian, ia mengakui ada risiko besar, terutama jika aparat penegak hukum tidak bersikap independen. “Bisa, jika aparat penegak hukumnya tidak profesional dan tidak netral. Harapannya sih tidak,” tegasnya.

Menurutnya, korupsi di Indonesia sudah seperti penyakit kronis. Potensi pemulihan ekonomi lewat perampasan aset sangat besar, sebab kebocoran APBN akibat korupsi diperkirakan mencapai 30-35 persen atau sekitar Rp700 triliun per tahun.

Baca Juga  Sambut Momentum Sumpah Pemuda, Ratusan Pemilih Muda Deklarasi Dukung Khofifah-Emil

“Bayangkan saja kalau sebagian besar bisa dikembalikan. Itu kekuatan ekonomi yang luar biasa,” tegas Iksan.

Proses yang Mandek Sejak Lama

Perjalanan RUU Perampasan Aset selama hampir dua dekade lebih sering tersendat ketimbang tuntas. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pembahasan sempat nyaris final namun gagal karena tarik-menarik politik. Pada masa Presiden Joko Widodo, draf berulang kali masuk Prolegnas, tetapi tak pernah jadi prioritas.

Kini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, publik kembali menaruh harapan. Namun keraguan tetap ada, mengingat banyak elite politik yang pernah tersangkut kasus korupsi.

“Ya bisa jadi, mereka (elite politik) mungkin jaga-jaga untuk dirinya sendiri. Kalau RUU ini disahkan, merekalah yang akan jadi sasaran,” sorotnya.

Ia menilai, Presiden memiliki jalan cepat dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). “Kalau memang DPR tidak setuju, biar rakyat tahu. Setidaknya Presiden sudah menunjukkan komitmen. Simpel saja,” tegas Iksan.

Bagi masyarakat, RUU Perampasan Aset adalah harapan lama agar uang rakyat yang digerogoti koruptor bisa kembali. Tinggal menunggu, apakah DPR dan pemerintah berani menuntaskannya atau terus saling lempar tanggung jawab. “Kesadaran mereka yang kita tunggu,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *