MAKLUMAT — Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai polemik seputar air minum kemasan merek Aqua menunjukkan lemahnya peran negara, dalam menjamin hak dasar rakyat atas air bersih.
Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Rahmat Hidayat Pulungan menyebut situasi tersebut sebagai “ironi konstitusi”, mengingat Indonesia adalah negara yang dianugerahi sumber air melimpah, namun akses air layak justru menjadi barang mahal bagi warganya.
“Di negeri yang sumber airnya berlimpah, mendapatkan air minum layak malah seperti privilese. Ini ironis,” ujar Rahmat di Jakarta, Senin (27/10).
Rahmat menegaskan air adalah hak konstitusional rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. Karena itu, negara wajib hadir dalam pengelolaan dan distribusi air bersih, bukan menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar.
“Absennya negara dalam tata kelola air bersih merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Air adalah hajat hidup orang banyak yang seharusnya dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat,” tegasnya.
Menurut Rahmat, praktik penjualan air tanah oleh korporasi tanpa kontrol publik memperlihatkan ketimpangan yang tajam. Ironisnya, harga air minum kemasan di Indonesia lebih mahal dibandingkan negara tetangga seperti Singapura.
“Warga Singapura hanya membayar sekitar Rp60 ribu untuk 1.000 liter air perpipaan yang langsung bisa diminum. Di Indonesia, kita harus membayar PDAM untuk air yang tidak layak minum, lalu membeli air galon dengan harga minimal Rp18 ribu per 19 liter,” terang dia.
PBNU menilai polemik ini seharusnya menjadi momentum evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola air nasional. Negara, kata Rahmat, harus memastikan kebijakan yang berpihak pada rakyat dan menjamin akses air bersih yang adil di seluruh wilayah.
“Akses terhadap air, terutama air layak minum, adalah hak asasi fundamental yang wajib dijamin negara. Pemerintah tak boleh diam,” kata Rahmat.