MAKLUMAT — Atalia Praratya sejak lama berbicara tentang bahagia sebagai sesuatu yang dirawat, bukan dikejar. Ia percaya kebahagiaan lahir dari kerja batin—dari rasa syukur, dari kemampuan memilah, dan dari keikhlasan menerima hidup apa adanya. Pandangan itu ia rangkum dalam bukunya 89 Cara Bahagia ala Atalia, sebuah refleksi yang tumbuh dari perjalanan hidup dengan beragam peran dan ujian.
Atalia, yang akrab disapa Ibu Cinta, menempatkan bahagia sebagai sikap. “Bahagia itu ciptaan, bukan pencarian,” adalah kalimat yang kerap ia ulang. Dalam bukunya, ia tidak menjanjikan jalan pintas. Ia justru mengajak pembaca berdamai dengan keseharian: menikmati peran sebagai perempuan, ibu, istri, pendidik, dan warga negara. Bahagia, menurutnya, sering kali hadir dalam momen yang sederhana—waktu bersama keluarga, tawa anak-anak, atau ketenangan hati saat menerima keadaan.
Sikap ikhlas dan syukur menjadi fondasi kuat dalam cara pandangnya memaknai hidup. Kehilangan putra sulungnya, Emmeril Kahn Mumtadz, menjadi pengalaman yang membentuk kedewasaan batinnya. Duka itu tidak ia sembunyikan, tetapi juga tidak ia jadikan pusat kemarahan. Dari sana, Atalia menunjukkan bahwa ketegaran bukan berarti meniadakan rasa sedih, melainkan mengelolanya dengan kesadaran dan iman.
Di ranah domestik, Atalia memandang peran ibu sebagai kerja kreatif. Rumah baginya bukan sekadar tempat tinggal, melainkan ruang pembelajaran. Seorang ibu, katanya, perlu solutif agar rumah tetap menjadi tempat yang menenangkan dan anak-anak tumbuh dengan rasa aman. Kreativitas sederhana justru menjadi fondasi awal pembentukan karakter.
Meski berkiprah di ruang publik, keluarga tetap ia tempatkan sebagai poros kehidupan. Kesibukan, menurut Atalia, tidak boleh menggerus quality time. Kebersamaan yang singkat tetapi bermakna justru meninggalkan jejak lebih panjang dalam ingatan anak-anak.
Atalia lahir di Bandung, 20 November 1973, dari keluarga akademik. Ayahnya, Ahmad Syarif Puradimadja, adalah arsitek dan dosen planologi. Pendidikan ia tempuh dari SMA Negeri 5 Bandung, Universitas Padjadjaran, Universitas Katolik Parahyangan, hingga meraih gelar doktor Ilmu Komunikasi di Universitas Padjadjaran. Di luar dunia akademik, ia aktif sebagai dosen, komisaris PT Urbane Indonesia, serta pendiri gerakan sosial Jabar Bergerak.
Ketika mendampingi Ridwan Kamil dalam peran publik sebagai Wali Kota Bandung dan Gubernur Jawa Barat, Atalia mengemban amanah sosial sebagai Ketua TP PKK, Bunda PAUD Jawa Barat, dan Ketua Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Jawa Barat. Ia dikenal mengedepankan pendekatan empatik—menggabungkan kerja sosial, pendidikan, dan pemberdayaan perempuan.
Pada 2023, Atalia melangkah ke ranah politik. Ia maju sebagai calon legislatif dari Partai Golkar dengan niat memperjuangkan isu perempuan dan sosial secara lebih luas. Ia terpilih sebagai anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Jawa Barat I dan kini duduk di Komisi VIII.
Belakangan, kehidupan Atalia kembali berada dalam sorotan publik. Atalia menggugat cerai Ridwan Kamil. Sidang perdana perceraian dijadwalkan berlangsung Rabu (17/12/2025) di Pengadilan Agama Bandung. Baik Atalia dan Ridwan Kamil, memilih tetap tenang dan tidak banyak bicara. Sikap diam itu sejalan dengan pesan yang selama ini ia sampaikan: memilah informasi, menjaga ruang batin, dan tidak membiarkan riuh di luar menggerus ketenangan di dalam.
Mungkin dari sanalah buku 89 Cara Bahagia menemukan relevansinya. Bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana, tetapi selalu menyediakan ruang untuk memilih sikap. Dan mungkin bagi Atalia Praratya, bahagia adalah pilihan yang dirawat—hari demi hari, dalam sunyi maupun sorak.***