23.9 C
Malang
Jumat, November 22, 2024
KilasSoroti Debat Ketiga Pilpres, Ustadz Adi Hidayat Beri Kritik dan Saran

Soroti Debat Ketiga Pilpres, Ustadz Adi Hidayat Beri Kritik dan Saran

Ustadz Adi Hidayat.

ULAMA Muhammadiyah Ustadz Adi Hidayat (UAH) turut buka suara menanggapi debat ketiga Pilpres 2024 yang telah dilakukan Ahad (7/1/2024) lalu di Istora Senayan, Jakarta.

Melalui unggahan berjudul ‘Tegas!!! 3 usulan UAH Mereaksi Debat Capres ke-3- Ustadz Adi Hidayat’ di channel YouTube Adi Hidayat Official, Senin (8/1/2024), UAH menyampaikan kritik dan sarannya.

“Kiranya sifat-sifat yang ditampilkan dalam debat itu bisa lebih substansial untuk mengedukasi masyarakat dan dengan sifat edukatif ini kita bisa melihat menilai dan bahkan mungkin bisa memberikan satu masukan untuk memotivasi kita dalam menentukan siapa yang dipandang layak menurut persepsi masing-masing,” katanya.

Ulama yang juga Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah itu mengusulkan agar peran panelis dalam debat bisa mewakili kepentingan-kepentingan masyarakat di daerah. Seperti halnya format debat pada pemilu terdahulu, dengan melibatkan perwakilan-perwakilan provinsi yang bisa menyampaikan kebutuhan di daerah secara implementatif. Tujuannya, agar kebutuhan masyarakat di seluruh daerah bisa tersampaikan di forum yang akan menentukan siapa pemimpin bangsa ini.

“Sehingga sifat debat itu itu berubah menjadi nilai-nilai yang substansial dan sifatnya bisa edukatif sekaligus juga nuansanya bisa uji publik,” ujarnya.

Sayangnya, dalam debat yang sudah tiga kali digelar, ia memandang nuansa edukasi sangat kecil terlihat. Lebih banyak nuansa show atau tampil untuk menunjukkan keunggulan misalnya dalam retorika atau beradu argumen dan lain sebagainya.

Meski sah-sah saja, namun UAH menyayangkan substansi terkait nilai debat yang melahirkan visi misi bagaimana menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat dan bangsa, membangun dan mencerahkan serta memajukan bangsa ini tidak bisa didapatkan.

Menurut dai yang meraih gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) itu, masyarakat ingin mendengar dan mengetahui bagaimana rencana-rencana para capres dan cawapres kedepan untuk memajukan bangsa ini dan menyelesaikan setiap persoalan yang ada di seluruh tapak wilayah NKRI, salah satunya tentang pertahanan yang menjadi topik debat ketiga.

UAH memandang dalam debat yang berlangsung sekitar 3 jam tersebut, belum ada capres yang bisa mengangkat konteks, misalnya terkait kesejahteraan prajurit TNI meskipun dilarang berbisnis, hingga analisis UU tentang TNI. Termasuk apakah rumah dinas dan pendapatan TNI cukup sehingga mereka bisa tetap fokus menjaga keutuhan NKRI meski mempertaruhkan nyawanya.

“Formulasi apa yang dirumuskan oleh para capres ini untuk bisa memberikan sebuah harapan yang besar bagi mereka ketika ditugaskan dan sesuai dengan undang-undangnya mereka tidak berpikir lagi tentang kesejahteraan,” kata UAH.

“Kalau sekadar hanya ingin melihat siapa yang unggul, siapa yang paling kuat argumen atau menang kalah dan sebagainya itu tidak berarti banyak bagi kami masyarakat. Rakyat yang mendambakkan kejelasan tentang peta rancang bangun untuk memimpin Indonesia itu seperti apa,” imbuhnya.

Lebih lanjut, UAH juga mengkritisi peran dan kontribusi panelis dalam forum debat, yang hanya ditugaskan untuk mengambil undian pertanyaan untuk capres. Padahal, kehadiran panelis sebagai seorang pakar, diharapkan untuk bisa menampilkan sisi intelektualitas mereka dengan melakukan dialog dan argumentasi-argumentasi kritis. Seperti halnya pada debat capres tahun 1999 yang menghadirkan sosok seperti sosiolog Imam Prasodjo dan pengamat politik Eep Saifullah Fatah yang memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis.

“Jangan sampai yang kami tangkap dengan fasilitas media sosial yang banyak sekali yang sekarang sudah banyak diviralkan bahkan dipotong-potong masyarakat termasuk kami hanya menikmati sentimennya saja bukan argumennya ini seakan-akan ini punya masalah dengan ini jadi sentimen pribadi,” ungkap ulama alumnus Libya tersebut.

UAH berharap, agar konsep debat diubah seperti halnya dahulu kala seperti pada tahun 1999. Pasalnya dia menilai konsep debat yang melahirkan sentimen negatif tidak membangun kedamaian. “Bagaimana di atasnya ya menampilkan kedamaian bersifat lebih elegan itu akan lebih nyaman ya diterimanya sehingga itu bisa meredam gejolak. Jadi kalau anda ingin mengatakan ‘Mari kita hadirkan pemilu yang damai yang tertib yang baik’, maka mohon berikan contoh dari atas yang secara elegan bisa ditampilkan wawasan,” pintanya.

“Jadi kalau kami (tokoh agama) dituntut untuk mengajak masyarakat tenang, damai, sementara tokoh-tokoh di atasnya dan mesin politiknya tidak mengarahkan kepada sifat-sifat itu, lantas kiranya tidak mudah bagi kami untuk bisa memberikan hal-hal positif yang mendamaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” imbuh UAH. (*)

Reporter: M Ardi Firdiansyah

Editor: Achmad Santoso

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer