MAKLUMAT — 77 tahun lalu, tepatnya pada 22 Desember 1948, terjadi sebuah peristiwa bersejarah yang amat menentukan bagi kelangsungan hidup Republik Indonesia. Peristiwa itu adalah terbentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Peran PDRI kala itu sangat krusial. Ibarat permata berlian, PDRI mampu mengisi kekosongan kepemimpinan nasional akibat serangan Agresi Militer Belanda II. Lantas, apa hubungan PDRI dengan Muhammadiyah? Mari kita simak penjelasan berikut.
Tangisan Berdarah Rakyat Indonesia untuk Mempertahankan Kemerdekaan
Bukittinggi, Sumatera Barat, menjadi saksi penting peristiwa bersejarah ini. Saat itu, ambisi Belanda untuk kembali merebut Republik Indonesia sangat besar. Dengan memanfaatkan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia (PD) II, negara Eropa tersebut memutuskan melanjutkan petualangan kolonialismenya.
Sementara itu, kondisi Indonesia masih sangat muda. Baru seumur jagung, bangsa ini dipaksa kembali menghadapi perebutan kekuasaan oleh Belanda. Peristiwa inilah yang dikenal sebagai perang mempertahankan kemerdekaan, atau Agresi Militer Belanda I dan II, yang berlangsung pada rentang 1945–1949.
Dalam catatan Buya Syafii Maarif (2021) yang dimuat di kompas.id, menurut perhitungan kolonialis, Indonesia mustahil memenangkan peperangan terbuka. Namun, ada satu modal besar yang tak diperhitungkan Belanda: semangat mempertahankan kemerdekaan dan tekad pantang dijajah kembali. Modal inilah yang terbukti tak mampu ditembus persenjataan modern kala itu.
Semangat dan makna perjuangan itu tertulis dengan anggun dan abadi dalam alinea pertama UUD 1945:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”
Dalam rentang peristiwa tersebut, ribuan jiwa melayang menjadi saksi betapa mahalnya harga kemerdekaan. Tangisan berdarah terjadi hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia, terutama saat agresi brutal militer Belanda pada 21 Juli 1947 dan 19 Desember 1948.
Situasi kian mencemaskan ketika pada 4 Januari 1946 Indonesia terpaksa memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Yogyakarta, setelah Jakarta dikuasai pasukan Sekutu/NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Jakarta tunduk. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, bersama sejumlah menteri kabinet, ditangkap dan diasingkan dari Yogyakarta ke luar Jawa. Yogyakarta sebagai ibu kota baru pun dipaksa menyerah. Situasi ini menjadi salah satu fase paling pahit dalam sejarah Republik.
Tapi, Apakah Indonesia Benar-Benar Tunduk?
Pertama, perlu dicatat dengan hormat peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX, pemimpin Keraton Yogyakarta. Dengan tegas, beliau menolak bujukan Belanda untuk menjabat sebagai Super Wali Negara Jawa dan Madura. Tidak hanya itu, Sri Sultan turut berjuang dengan menyerahkan harta Keraton demi menghidupi pemerintahan Republik di Yogyakarta.
Kedua, peran PDRI yang lahir pada 22 Desember 1948 patut mendapat apresiasi besar. Puncak Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 menyebabkan kekosongan kekuasaan selama tiga hari (19–21 Desember 1948), membuat Republik Indonesia nyaris lumpuh.
Beruntung, sebelum kekosongan pemerintahan terjadi, Mohammad Hatta telah mengamanatkan Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran saat itu, untuk menyelenggarakan pemerintahan darurat di Sumatera Barat.
Pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) mendapat dukungan Jenderal Sudirman. Eksistensi PDRI (1948–1949) secara politik berhasil menyelamatkan Indonesia dari Agresi Militer Belanda II dan menjadi bukti bahwa Republik belum benar-benar runtuh.
Sjafruddin memimpin PDRI dengan dibantu sejumlah tokoh, antara lain: Teuku Mohammad Hassan, Mohammad Rasjid, Lukman Hakim, KH Masykur, Indra Cahya, Mananti Sitompul, Sudirman, Abdul Haris Nasution, Hidayat, Umar Said, Muhammad Nazir, Hubertus Suyono, A.A. Maramis, Sukiman, Kasimo, Susanto Tirtoprojo, dan tokoh-tokoh lainnya.
Perjuangan PDRI menjadi simbol kuat persatuan nasional. Pimpinan PDRI bergerak meninggalkan Halaban dan menyebar ke berbagai wilayah. Sistem pemerintahan dijalankan secara berpindah-pindah dengan fasilitas yang sangat terbatas.
Masih merujuk catatan Buya Syafii Maarif (2021) di suaramuhammadiyah.id, berikut pidato radio Sjafruddin sehari setelah PDRI terbentuk:
“Negara Indonesia tidak tergantung kepada Soekarno-Hatta, sekalipun kedua pemimpin itu adalah sangat berharga bagi bangsa kita. Patah tumbuh hilang berganti. Hilang pemerintah Soekarno-Hatta, sementara atau untuk selama-lamanya, rakyat Indonesia akan mendirikan pemerintah yang baru, hilang pemerintah ini, akan timbul yang baru lagi.”
Pidato ini disampaikan saat Sjafruddin belum mengetahui secara pasti apakah Soekarno-Hatta benar-benar ditawan, mengingat sulitnya komunikasi pada masa itu.
Perjuangan Muhammadiyah di Belakang PDRI
Salah satu fakta historis penting adalah bahwa PDRI berdiri di Sumatera Barat, wilayah yang menjadi basis massa terbesar Muhammadiyah di luar Jawa. Secara tidak langsung, Muhammadiyah turut menopang eksistensi PDRI.
Tokoh-tokoh Muhammadiyah dan warganya terlibat aktif dalam mempertahankan kemerdekaan. Beberapa di antaranya: Saalah Yusuf Sutan Mangkuto, Malik Ahmad, Oedin, Marzuki Yatim, Abdullah Kamil, Duski Samad, A. Malik Ahmad, Sinaro Panjang, Idris Manaf, Hasan Ahmad, dan Chatib Sulaiman.
Dalam situasi genting, Muhammadiyah mengerahkan lembaga pendidikan dan pelayanan sosial sebagai pusat dukungan gerilya. Namun, aktivitas sekolah dan panti asuhan Muhammadiyah terpaksa terhenti. Banyak aset Muhammadiyah hancur dan dijarah akibat perang.
Di balik PDRI, berdiri puluhan juta rakyat Indonesia dari desa hingga kota. Saling menyokong, bergerilya, dan bertekad mengusir penjajahan dengan segala keterbatasan menjadi kekuatan dahsyat yang menentukan masa depan bangsa.
Setelah situasi nasional berangsur kondusif, Soekarno dan Hatta kembali melanjutkan pemerintahan. PDRI (1948–1949) terbukti berhasil mengisi kekosongan kekuasaan dan menjadi penentu kelangsungan hidup Republik Indonesia.
Peristiwa PDRI kemudian ditetapkan sebagai tonggak penting sejarah nasional. Melalui Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan 19 Desember sebagai Hari Bela Negara.
*) Artikel ini sudah naik di laman Muhammadiyah.or.id.***