TINGGAL menghitung hari kita akan sampai pada 14 Februari 2024. Waktu yang dinanti seluruh rakyat Indonesia. Baik rakyat menengah ke atas ataupun menengah ke bawah. Dari yang proletar sampai konglomerat, dari sipil hingga pejabat. Dari yang hanya sekolah dasar, bahkan tidak sekolah, sampai yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi luar negeri.
Suatu hari yang pastinya akan bersejarah bagi bangsa yang besar ini. Bangsa yang memiliki ribuan suku, corak budaya, dan tentunya cita-cita. Pesta demokrasi lima tahunan itu segera tiba. Waktu di mana seluruh bangsa ini berkontribusi dalam menentukan arah masa depan bangsa.
Pada Pemilu serentak, rakyat akan disodorkan 5 kertas suara. Warna hijau untuk DPRD, warna biru untuk DPRD Provinsi, warna kuning untuk DPR RI, warna merah untuk DPD, dan warna abu-abu untuk Presiden beserta wakilnya. Sebuah tindakan efesiensi atau justru keruwetan nantinya, biarlah penyelenggara dan pengawas yang mengantisipasinya. Calon cukup duduk manis di hari H setelah sebelumnya bekerja keras agar dipilih. Pemilih cukup datang ke TPS menyalurkan hak sekaligus kewajibannya untuk memilih.
Dapat kita amati, dari pemilu pemilu sebelumnya dengan pemilu tahun ini. Euforia rakyat Indonesia sangat besar. Euforia tersebut terlihat jelas di media sosial, seperti TikTok, YouTube, Twitter, dan Instagram. Tentu kita berharap euforia tersebut bukanlah euforia yang terorganisir, tetapi euforia organik yang lahir dari kesadaran rakyat, untuk membangun Indonesia yang lebih baik.
Platform digital mempunyai peran yang penting di masa kini, khususnya media sosial. Jika dahulu para calon masih memanfaatkan media massa (televisi, radio, media cetak) untuk berkampanye. Sekarang media massa itu mungkin sudah usang untuk dijadikan satu-satunya alat kampanye. Saat ini, hampir setiap orang minimal memiliki satu handphone, yang artinya setiap orang dapat mengakses informasi apapun, dimanapun dan kapanpun. Tinggal bagaimana para kompetitor, baik caleg maupun capres berlomba memenuhi beranda media sosial dalam rangka menarik simpati calon pemilih.
Kampanye melalui ruang media sosial menjadi pilihan menarik bagi para kompetitor, tanpa menyiapkan tempat dan segala macamnya untuk pengumpulan massa, mereka dapat mempublikasikan visi misi sekaligus gagasan-gagasan mereka melalui platform media sosial. Meski demikian, kampanye secara langsung juga tetap diperlukan.
Seperti layaknya uang yang memiliki dua sisi. Media sosial juga demikian. Ada sisi baik, ada sisi buruk. Dikatakan sisi baik, jika apa yang didistribusikan adalah gagasan-gagasan calon sebagai jawaban dari permasalahan. Di sebut sisi buruk ketika konten yang dibuat adalah untuk black campain, memecah belah atau bahkan fitnah.
Bukankah politik memang demikian? Seperti sebuah pisau di tangan, jika tidak digunakan untuk menikam, maka yang memeganglah yang akan tertikam. Seiring berjalannya waktu politik hitam menjadi biasa, toh yang akan panas atau terkena imbasnya adalah masyarakat sebagai pemilih. Dimana perbedaan pilihan menjadi sebuah masalah yang besar. Bermusuhan satu dengan lainnya seolah-olah negara ini dibangun oleh yang mereka jagokan.
Contohnya, dampak dari pemilu presiden tahun 2014 dan 2019 yang melahirkan julukan kampret dan kecebong. Padahal para politisi yang mereka bela itu, prabowo dan jokowi sekarang sudah berada dalam satu kolam. Di kalangan bawah ombaknya seperti tsunami, di atas hanya riak kecil, bahkan mereka masih bisa asyik berbagi kue kekuasaan.
Pengalaman pemilu 2014 dan 2019 itu, sebagai manusia yang diberikan akal oleh sang pencipta, harusnya pada pemilu tahun ini kita bisa lebih santai, lebih mementingkan gagasan atau ide kepemimpinan, dan lebih berhati-hati dalam menerima informasi dari masing-masing calon.
Bukan sebaliknya, malah menjadi kuda liar, yang memakai kaca mata hitam, fanatik, pembenci, menjadi buzzerRp demi uang, bahkan bagi para influencer disana mengkampanyekan calon setara dengan nilai endors, hati nurani di pinggirkan yang penting cuan dan karier maupun bisnis lancar. Mungkin tidak semua begitu, tapi sebagian besar demikian. Sebagai masyarakat kalangan menengah kebawah yang tidak mendapatkan apa-apa selain janji, harusnya dapat lebih rasional dalam menentukan pilihan, tidak terpengaruh oleh trend sosmed, dan lebih rajin membaca gagasan juga fakta.
Jangan sampai kita masyarakat, yang memegang kedaulatan tertinggi di negara ini, hanya menjadi alat bagi orang-orang yang ingin berkuasa. Kita dicekoki racun yang secara perlahan menjadi penyebab utama runtuhnya persatuan sebagai warga bangsa. Relakah kita jika persatuan yang di bangun sejak sebelum kemerdekaan ini rapuh?.
Pembunuhan karakter, jati diri, kepercayaan antar anak bangsa digerus oleh kampanye yang tidak menyehatkan, apalagi mencerdaskan. Alasan mengapa masyarakat Indonesia mudah terombang-ambing kepentingan politik, di karenakan masyarakat tidak memahami persoalan sebenarnya bangsa ini, padahal mereka merasakannya. Sikap acuh dan tidak mau tahu itulah yang membuat kampanye isinya lebih banyak menebar kebencian. Joget-joget lebih menarik ketimbang kampanye model dialog publik yang mengajak untuk berpikir dan bertukar gagasan.
Mungkin itulah yang membuat konten medsos terutama tiktok menarik dan bahkan di jadikan rujukan dalam memilih. Tidak sedikit, pemilih yang memilih berdasarkan konten viral/fyp, bukan pada sosok/ide/gagasan/program kerja pemimpin. Jangan heran jika nanti yang terpilih adalah calon yang selalu di make over oleh tim. Bukan dirinya yang sebenarnya. Alias palsu.
Pesan untuk para elite politisi. Hari ini kita membutuhkan teladan, bukan bualan dan omong kosong yang menipu rakyat. Mampukah para elit menyingkirkan ego dan nafsu pribadi untuk kepentingan yang lebih besar yakni persatuan Indonesia. Rakyat butuh pemilu yang menggembirakan, kampanye yang mencerdaskan, serta proses dan hasil pemilu yang bisa diterima oleh akal sehat. Dengan begitu, nantinya bangsa ini akan menjadi kuat, tidak hanya dalam kawasan (asia) tetapi juga dunia. 278 juta penduduk Indonesia berharap menjadi bangsa yang dihormati, diperhitungkan oleh bangsa lain. Semua itu dapat tercapai jika pemimpin dan rakyatnya memahami jati diri bangsa Indonesia. Jati diri yang telah dibangun founding fathers bangsa ini 78 tahun silam. (*)
Silviyana Anggraeni, Penulis adalah Wakil Ketua PCNA Pucuk, Lamongan