PEMILU 2024 mendapatkan banyak sorotan dari berbagai kalangan masyarakat. Beragam kecurangan, pelanggaran dan politik uang seakan jadi fenomena wajar yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.
Ironisnya, masyarakat seakan menjadikan pemilu sebagai ajang pesta rakyat. Betapa tidak, besarnya jumlah uang atau barang yang diberikan calon menjadi salah satu penentu mereka memilih.
Idealisme menentukan pilihan yang sesuai dengan hati nurani dan akal sehat sudah menjadi barang mewah, yang sulit ditemui. Karena faktanya, banyak pemilih menerima semua pemberian dari calon. Ketika ada lima calon yang memberi imbalan berupa uang atau barang mereka menerima, meskipun nantinya hanya memilih satu calon. Bahkan, ada pemilih unik yang mencoblos semua calon yang memberikan uang, tanpa berfikir lagi suara yang diberikan sah atau tidak sah.
Padahal, dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu pasal 523, telah dijelaskan; bahwa pemberi dan penerima politik uang akan dikenakan sanksi pidana berupa penjara selama 2 – 4 tahun. Lama hukuman bergantung pada tindakan politik uang dilakukan saat masa kampanye, ketika masa tenang atau saat hari pemungutan suara.
Selain melanggar hukum, politik uang juga merusak prinsip demokrasi yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tindakan politik uang yang dilakukan oleh peserta pemilu tujuan utamanya adalah agar pemilih menggunakan hak pilihnya, untuk memilih peserta pemilu yang memberikan uang atau barang tersebut. Sebaliknya, ada peserta pemilu yang menggunakan politik uang, dengan tujuan agar pemilih tidak menggunakan hak pilihnya atau golput.
Mungkin, politik uang sudah dianggap sebagai tindakan yang wajar, sehingga pengawas pemilu, penyelenggara pemilu dan aparat penegak hukum seakan menutup mata, meskipun mereka mengetahui secara langsung tindakan melanggar hukum tersebut. Ketika perilaku menyimpang dan melanggar hukum dibiarkan begitu saja oleh sang pengadil, lantas masyarakat berharap keadilan kepada siapa lagi?. Akankah terus dibiarkan begitu saja?. Tentu sebagai pemegang mandat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sudah seharusnya terus berusaha ikut serta memperbaiki kondisi sistem hukum Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja.
Ekspresi Kekecewaan
Tidak semua pesta politik uang tersebut murni kesalahan rakyat sebagai pemilih. Tindakan pesta rakyat pada momentum pemilihan umum juga sebagai bentuk ekspresi kekecewaan dan hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah eksekutif dan legislatif. Banyaknya kasus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan yang dilakukan oleh pejabat publik, hingga membuat masyarakat menengah ke bawah sengsara. Belum lagi ditambah dengan perbedaan perlakuan dalam pelayanan publik. Pejabat mendapat beragam keistimewaan, sedangkan pelayanan terhadap rakyat biasa dan miskin dipersulit, bahkan terkadang pelayan publik memasang tarif pelayanan kepada rakyat miskin yang seharusnya diberikan secara gratis. Kondisi itu menjadi salah satu faktor pelampiasan kekecewaan rakyat kepada pejabat publik ketika pemilu. Meskipun tindakan demikian, malah mempertebal kasus penyelewengan dan korupsi.
Kondisi ekonomi yang tidak stabil menjadi faktor utama kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah. Sebuah contoh, ketika harga kebutuhan pokok melambung tinggi, harga jual hasil pertanian, seperti padi, cabai, tomat dan lainnya masih rendah. Sehingga petani mengalami kerugian besar, karena biaya produksi lebih besar dari harga jual. Saat ini, beras premium dijual Rp 18.000 perkilogram, sementara harga jual padi hasil panen petani tidak lebih dari Rp 7.000 perkilogram. Sungguh ironis bukan fakta tersebut?.
Belum lagi ditambah dengan kondisi kebutuhan lain yang juga dinaikkan oleh pemerintah, seperti pajak, tarif listrik dan pengurangan subsidi bahan bakar minyak atau BBM. Bahkan pemerintah seakan tidak peduli dengan derita rakyat yang semakin bertambah, ketika kondisi ekonomi serba sulit, gaji pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, serta ASN dinaikkan secara signifikan. Perlakuan tidak adil terhadap rakyat yang demikian, menjadikan momen pemilu sebagai ajang balas dendam untuk memiskinkan calon legislatif dan eksekutif.
Realitas demikian, membuat biaya politik calon legislatif meningkat tajam. Jika dalam pemilu 2019 caleg DPRD Kabupaten/ Kota menghabiskan biaya Rp 1 – 1.5 milyar untuk memperoleh 1 kursi. Pada tahun 2024 mereka harus mengeluarkan biaya Rp. 2.5 – 4 milyar. Meski telah mengeluarkan biaya politik yang besar, banyak juga caleg yang gagal memperoleh kursi, hingga akhirnya mereka stress dan depresi.
Masyarakat yang dulunya masih menerima politik uang Rp 50 ribu untuk menentukan pilihan, kini mereka hanya akan memilih jika diberikan Rp 100 ribu. Tidak hanya itu, tingkat eror suara juga sangat tinggi dalam pemilu 2024. Pada pemilu 2019, suara hilang 50 persen dari target yang ditetapkan, menjadi hal yang wajar dan dimaklumi. Tetapi di pemilu 2024, mendapatkan suara 30 persen dari total target, seakan menjadi keberhasilan yang luar biasa dari calon legislatif.
Sebuah contoh, penulis mendengar kabar, ada calon legislatif yang menyebar 25.000 amplop berisi Rp 100 ribu per pemilih, atau total menghabiskan Rp 2.5 milyar. Dari total amplop yang disebar caleg tersebut hanya mendapatkan 7.000 suara. Jadi jika dihitung caleg tersebut hanya mendapatkan 28 persen dari total politik uang yang disebar. Ya meskipun masih ada caleg yang mempunyai integritas tinggi mendapatkan suara diatas 50 persen dari target.
Tidak bisa dipungkiri, mahalnya biaya politik membuat pejabat eksekutif dan legislatif akan berfikir keras tentang cara bagaimana mengembalikan modal. Solusinya pasti lewat korupsi!. Karena gaji yang mereka dapatkan tidak akan mampu menutup modal apalagi untung. Kiranya, perlu dipertimbangkan agar sistem pemilu proporsional tertutup dipertimbangkan kembali oleh eksekutif dan legislatif.
M. Nur Ali Zulfikar, Penulis adalah Pengajar di Universitas Muhammadiyah Lamongan, Direktur Pusat Studi Tata Kelola Daerah, dan Wakil Ketua LHKP PDM Lamongan