TIDAK ada kawan atau lawan abadi dalam politik. Yang ada hanyalah kepentingan. Jargon terkenal dalam dunia politik itu seolah menggambarkan hubungan panas dingin yang sedang terjadi antara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Maklum, hubungan antara PDI-P dengan Jokowi awalnya sangatlah mesra, hingga PDI-P mampu menjadi kendaraan politik Jokowi untuk melenggang sebagai Presiden RI dua periode. Namun, hubungan itu mulai renggang setelah Jokowi berbeda haluan politik dengan PDI-P dalam pemilihan Presiden-Wakil Presiden (Pilpres) 2024.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto pun kerap melontarkan kritik-kritik pedas tertuju kepada Jokowi. Kritik itu dipicu oleh ulah Jokowi yang justru terang-terangan mendukung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Sebaliknya, Jokowi ogah mendukung pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD yang notabene diusung oleh PDI-P. Padahal, orang nomor satu di Indonesia itu tercatat masih menjadi kader PDI-P.
Lebih-lebih, setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang Pilpres 2024. Kemenangan telak Paslon nomor urut 2 itu diyakini tak lepas dari campur tangan Jokowi.
Sederet kritik pedas terhadap Jokowi itu pun disampaikan oleh Hasto dalam acara diskusi bertajuk “Sing Waras Sing Menang”. Agenda itu disiarkan langsung via daring pada Sabtu (30/3/2024) kemarin.
PDI-P Khilaf Mendukung Gibran Jadi Walikota Solo
Hasto mengaku PDI-P merasa khilaf karena pernah mencalonkan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai Wali Kota Solo pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun 2020.
Menurut dia, keputusan PDI-P mengusung Gibran waktu itu lebih karena melihat kemajuan Indonesia sejak dipimpin Jokowi.
“Kami jujur saja khilaf ketika dulu ikut mencalonkan Gibran karena di sisi lain memang kami mengakui terhadap kemajuan yang dilakukan Pak Jokowi,” ungkapnya.
Bandingkan Gibran dengan Sopir Truk yang Kecelakaan di Tol Halim
Hasto juga mengungkit Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 Tahun 2023 yang telah mengubah syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Setelah putusan itu, Gibran akhirnya bisa mencalonkan diri sebagai Cawapres mendampingi Prabowo.
Padahal, putra sulung Jokowi itu dinilai belum memiliki pengalaman yang cukup untuk memimpin Indonesia dalam berbagai aspek, seperti ekonomi, sosial, dan geopolitik.
“Kemudian di tengah-tengah itu muncul seorang anak Presiden yang belum mencukupi batas usia, jadi Wali Kota juga baru dua tahun, kemudian mendapatkan suatu preferensi,” keluhnya.
Menurut Hasto, seorang pemimpin seharusnya mempunyai “kedewasaan” dalam menghadapi kompleksnya permasalahan suatu negara. Sebab, ketidakdewasaan dapat menyebabkan hal yang tak diinginkan, seperti kasus kecelakaan Gerbang Tol Halim Perdanakusuma.
“Kecelakaan yang terjadi itu karena sopir belum memenuhi syarat usia mengemudi dan tidak memiliki SIM,” sindirnya.
Kritik Utang Besar Era Jokowi
Meskipun mengakui kemajuan Indonesia saat dipimpin Jokowi, PDI-P tak menampik bahwa utang yang ditanggung negara juga besar. Sebab, hutang pemerintah saat ini hampir mencapai 196 miliar dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 3.112 triliun.
Selain itu, kata Hasto, masih terdapat utang lain pada sektor swasta dan BUMN yang nilainya mencapai 220 miliar Amerika Serikat atau sekitar Rp 3.493 triliun.
“Ketika ini digabung, maka ke depan kita bisa mengalami suatu persoalan yang sangat serius,” tutur Hasto
Sementara berdasarkan data dokumen APBN edisi Maret 2024, utang Indonesia saat ini berada pada angka Rp 8.319 triliun per Februari 2024.
Sindir Kebiasaan Jokowi Angkat Orang Dekatnya di Solo
Selain tentang Gibran, Hasto juga mengkritik kebiasaan Jokowi yang kerap menempatkan orang-orang terdekatnya ketika di Solo pada jabatan strategis pemerintahan. Sikap Jokowi tersebut dinilai merupakan bentuk dari antimeritokrasi dalam pemerintahan.
“Di dalam penempatan jabatan strategis pun kami melihat untuk menjadi pejabat Indonesia itu harus kenal Pak Jokowi dulu di Solo, ini kan antimeritokrasi, apakah Solo betul-betul menjadi wahana penggemblengan,” ungkapnya.
Hasto juga menuding Jokowi telah melakukan nepotisme dengan tidak mengedepankan nilai-nilai yang berpedoman pada proses dan perjuangan. Hal ini dibuktikan dengan munculnya hampir seluruh keluarga terdekat Jokowi yang mengisi jabatan pemerintahan.
Adapun beberapa nama pejabat yang mengisi jabatan strategis dan telah mengenal Jokowi ketika masih di Solo atau sering disebut “Geng Solo”, antara lain Menko Polhukam Hadi Tjahjanto, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Reporter: Ubay NA
Editor: Aan Hariyanto