PRESIDEN terpilih Prabowo Subianto rupanya terus berusaha menciptakan koalisi gemuk. Kalau mungkin tentu di atas 50 persen. Lawan politiknya dalam Pilpres dirangkul. Kita sudah tahu, itu bagian dari strategi agar nanti program-programnya tidak banyak hambatan. Sebagai pemenang memang banyak hal yang bisa dilakukan. Sedang pihak yang kalah biasanya tidak banyak pilihan.
Prabowo bisa negosiasi dengan memberi jabatan Menteri. Tidak adap partai yang tidak ingin jabatan Menteri. Tinggal apakah kursi Menteri yang ditawarkan itu dianggap kursi strategis atau tidak. Ada pendapat, sekarang tidak ada lagi partai ideologis. Yang ada partai pragmatis. Ideologi sudah lama mati. Maka kursi Menteri menjadi bagian dari sasaran yang diinginkan partai. Jika ada tawaran Menteri tentu dipertimbangkan dengan penuh minat. Prabowo sebagai Presiden punya hak prerogative memilih siapa jadi Menteri apa. Maka secara aturan tidak ada kesulitan bagi Prabowo menentukan Menteri dan menggunakan kewenangan itu untuk membuat koalisi gemuk.
Sekarang beberapa partai yang dalam Pilpres kemarin tidak mendukung Prabowo sudah menyatakan siap bergabung dengan Prabowo. Partai butuh ada orangnya yang duduk sebagai Menteri. Selain ikut mengatur kebijkakan, juga bisa dimanfaatkan sebagai salah satu sumber dana untuk partai dari kementerian itu. Tentu dengan cara sedemikian rupa supaya tidak ketahuan, Sekurangnya ikut nunut fasilitas kementerian untuk kegiatan partai.
Bagi Prabowo tentu tidak mudah membagi-bagi kementerian yang bisa memuaskan partai yang bergabung. Ada partai yang sejak awal sudah berkeringat mendukung kemenangan Prabowo. Ada juga partai yang baru bergabung setelah Prabowo menang. Ini partai pendukung baru yang tidak ikut memenangkan Prabowo. Tidak ikut berkeringan sejak awal. Maka Prabowo dituntut punya kearifan membagi kementerian meskipun dia punya hak prerogative menetapkan Menteri. Siapa berkeringat sejak awal dan siapa yang tinggal ikut menikmati hasil.
Tujuan membuat koalisi gemuk adalah agar program-programnya tidak ada hambatan. Maka selain membutuhkan jumlah pendukung yang besar, terutama dari parlemen, juga diperlukan orang-orang yang ahli di bidangnya. Inilah yang tidak selalu ditemukan di partai. Misalnya Menteri Keuangan. Harus memilih orang yang menguasai betul soal dunia keuangan dan bila perlu punya jaringan dengan dunia luar. Menteri Kesehatan. Diperlukan orang yang menguasai soal kesehatan. Apalagi kalau nanti ada wabah atau penyakit baru yang lagi berkembang.
Sesuatu yang memerlukan keahlian khusus kadang tidak didapat dari partai politik karena partai lebih focus pada soal politik dan social. Maka harus mengambil dari pihak luar partai. Karena itu Menteri dalam cabinet kadang diambil dari organisasi atau kelompok yang punya keahlian tertentu. Sebagai contoh, konon Jusuf Kalla (JK) pernah mengontak Prof Syafii Maarif Ketika akan Menyusun cabinet. JK tanya apakah Muhammadiyah punya tenaga medis perempuan yang bisa dijadikan Menteri. Prof Syafii lalu menunjuk Dr dr Fadilah Supari, ahli jantung. JK tanya apakah orang yang ditunjuk ini berani masuk-masuk sampai ke pedalaman Irian Jaya? Pak Syafii dengan gaya khasnya menjawab, jangankan cuma ke pedalaman Irian Jaya yang masih bagian Indonesia, ke penjuru dunia mana pun dia akan berangkat.
Dalam kenyataannya, beberapa kali Menteri Kesehatan dan Menteri Pendidikan ‘langganan’ diisi dari Muhammadiyah. Sebagai organisasi keagamaan dan bukan partai politik, Muhammadiyah tidak pernah minta jatah. Jika beberapa kali diminta menjadi Menteri karena penguasa mengakui kelebihan Muhammadiyaha. Ada orang-orang yang memiliki keahlian yang dibutuhkan. Maka Muhammadiyah harus dating memenuhi panggilan tugas. Ini bagian dari amar makruf nahi munkar. Muhammadiyah memang seperti penyedia tenaga ahli. Itu bagian dari pelayanan kepada masyarakat. Dakwah selain mengajak juga harus melayani.
Muhammadiyah dengan amal usahanya telah banyak memberikan andil pada negara. Namun tersedianya tenaga ahli harus terus meningkat. Hubungan dengan anggota dewan juga terus diperluas. Sebab kadang ada kebijakan aneh-aneh tentang sekolah atau rumah sakit yang bisa menyulitkan amal usaha Muhammadiyah.
Kebutuhan Muhammadiyah bukan menjadi Menteri. Cukup kalua jalan amal usahanyya tidak diganggu. Muhammadiyah besar dari kemandirian diri sendiri dan keikhlasan anggotanya.
Nur Cholis Huda, Penulis adalah Penasihat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur
Tulisan ini sudah pernah dimuat dengan judul yang sama di Majalah MATAN Edisi 215: Juni 2024