29.3 C
Malang
Jumat, November 22, 2024
OpiniMarshel Widianto dan Ijtihad Politik IMM yang Dipersoalkan

Marshel Widianto dan Ijtihad Politik IMM yang Dipersoalkan

Ari Aprian Harahap
Ari Aprian Harahap

SATU di antara kegelisahan yang hari ini mengemuka atas politik kita adalah hadirnya orang-orang yang dianggap “kurang kompeten”. Banyak hal yang membuat mereka dianggap kurang. Di antaranya karena mereka tidak lahir dari jenjang kaderisasi partai dan cenderung hanya mengandalkan popularitas. Umumnya mereka berasal dari publik figur seperti artis, musisi dan komedian.

Meski soal ini tentu masih sangat terbuka untuk diperdebatkan. Sebab kenyataannya tak sedikit artis yang hari ini menjadi anggota legislatif juga memiliki kualitas. Seperti Eko Patrio, Rieke Diah Pitaloka dan Desy Ratnasari. Tapi bagaimana dengan Marshel Widianto? Apakah dia memiliki cukup kapasitas? Apa yang membuat orang menyatakan dukungannya kepada Marshel?

Itulah yang menjadi kegelisahan banyak aktivis dan netizen kita. Mereka menilai bahwa sosok seperti dia tidak cocok menjadi pemimpin. Sebab nama saja tidak cukup. Pengalaman dan gagasan harus menjadi juru bicara paling depan. Dan mereka menilai itu tidak ada pada Marshel. Penilaian yang berujung pengadilan dan penghakiman yang berlebih.

Mereka terburu-buru menghakimi Marshel. Mereka tak sadar kalau Marshel hanyalah satu di antara sekian korban sistem dan style politik kita hari ini. Kalau saja kita mau membaca lebih jauh, yang sebenarnya harus disalahkan bukan Marshel, tapi sistem politik kita. Sistem yang mengakomodir hadirnya orang-orang semacam Marshel.

Partai politik kita juga pun dihadapkan pada dilema serius. Apakah akan tetap bertahan pada cara lama? Dalam artian hanya mengambil orang-orang dari internal partai namun punya popularitas lemah? Atau mengambil pihak luar namun memiliki popularitas tinggi dan itu sangat berguna untuk mendongkrak dan mendulang suara partai.

Jika boleh sedikit menoleh pada Pilpres beberapa bulan yang lalu, kita bisa membicarakan sosok seperti Anies Baswedan. Siapa dia? Apakah dia orang yang berasal dari internal partai? Jawabannya tentu tidak. Lalu apa pertimbangan partai-partai mendukungnya? Apakah semata karena dia punya gagasan dan karir yang cemerlang? Jawabannya lagi-lagi tidak. Popularitas atau ketenaran nama tetap jadi pertimbangan paling akbar.

Kita mungkin membantah. Harusnya tidak seperti itu. Kita harusnya berbenah dan berubah. Tapi realitas berkata lain. Partai butuh menaikkan engagement-nya dengan menaikkan dan menampilkan sosok populer. Karena itulah nama-nama seperti Denny Cagur, Gilang Dirga, Narji dan terakhir Marshel, ditarik ke panggung politik.

Lalu, kalau demikian realitasnya, apa yang semestinya kita lakukan? Apakah akan terus berdiam diri dan berpangku tangan serta mengutuk tanpa aksi? Kita tidak ingin seperti itu. Kita berharap bisa terlibat secara aktif dan positif dalam politik hari ini dan ke depan. Bagaimana caranya? Yakni dengan mendorong orang-orang yang kita anggap layak dan punya gagasan serta mimpi besar bagi masyarakat luas.

Beberapa hari yang lalu, kami di Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM) mencoba melakukan itu. Kami ingin memberikan dan menunjukkan aksi nyata dalam mengimbangi realitas politik kita hari ini. Harapan kami agar perpolitikan kita juga diisi orang-orang yang punya gagasan, kompeten dan rekam jejak yang panjang dalam pengabdian.

Karena itulah kami mengantar demisioner DPP IMM Abdul Musawir Yahya (Ketua Umum DPP IMM 2021-2023) dan Baikuni Alshafa (Ketua DPP IMM Bidang Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik 2021-2023) ke kantor DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) untuk bergabung sebagai kader. Hanya saja, sebagai sesuatu yang benar-benar baru, langkah kami dicurigai dan menimbulkan gejolak di akar rumput.

Bahkan bukan hanya di kalangan kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, langkah itu juga menjadi perbincangan hangat di pimpinan, anggota dan warga Muhammadiyah. Kami tentu tak mempersalahkan jika ada yang menghakimi dan mempertanyakan langkah kami itu. Layaknya sebuah ijtihad, dipersoalkan adalah hal yang biasa.

Kita tentu tidak lupa saat organisasi Muhammadiyah pertama kali tampil dan berdiri. Banyak penolakan di sana sini. Bahkan langgar Kiai Ahmad Dahlan sempat dibakar. Apa yang membuat tindakan-tindakan represif semacam itu terjadi? Jawabannya adalah karena Muhammadiyah hadir dengan semangat yang berbeda atau yang sering disebut semangat tajdid (pembaharuan).

Melakukan pembaharuan memang tidak mudah. Jalannya selalu terjal dan penuh onak duri. Itulah yang pernah dirasakan oleh tokoh-tokoh pembaharu yang pernah ada. Dari Muhammad Abduh, Kiai Dahlan, hingga Buya Syafii. Langkah-langkah mereka sering disalahpahami. Tapi berikutnya, lambat tapi pasti, diikuti secara diam-diam.

Kesaksian inilah yang diberikan oleh Buya Syafii saat mengulas sosok Nurcholish Madjid atau Cak Nur. Buya mengatakan, “Setiap pembaharu di manapun di muka bumi ini, hampir pasti dilawan, dicaci maki, dan dimusuhi, tetapi ajaibnya diam-diam diikuti. Dan ini juga berlaku atas Nurcholish Madjid.”

Kalimat Buya Syafii ini tentu menjadi semangat bagi kami. Terutama dengan langkah atau ijtihad yang kami ambil. Sebab kami mafhum, langkah yang kami ambil dijalankan dengan penuh kesadaran. Murni bahwa kami ingin mengantar kader terbaik kami kepada partai yang telah mereka pilih sebagai jalan juang, yakni PSI.

Kami ingin mengawal proses diaspora politik alumni IMM sejak dari awal dan dari bawah. Kami tidak ingin menjadi orang yang hanya tampil ketika alumni kami telah menjadi tokoh atau sukses dalam karirnya. Sebab itu langkah yang tidak adil dan fair. Kita harus terlibat dalam setiap jenjang prosesnya. Tentu dalam batas-batas yang diwajari. Kami tidak ingin menjadi bagian dari yang hanya mengutuk kegelapan, namun tidak membawakan obor.

Kritik kita atas politik hari ini kuat. Terutama ketika tampilnya orang-orang seperti Marshel di panggung politik. Tapi yang apa kita perbuat? Tidak ada. Nah, kami ingin menawarkan solusi atas masalah itu. Salah satunya dengan mengantarkan kader terbaik IMM yang kami anggap punya gagasan dan visi besar untuk terjun ke politik dengan harapan bisa mewarnai.

Apakah dengan itu kami terlibat dalam agenda politik praktis? Tidak. Karena tugas kami hanya mengantar dan memastikan bahwa politik kita hari ini diisi oleh orang-orang punya gagasan. Apa kami juga telah kehilangan idealisme? Lagi-lagi tidak. Sebab hal yang ideal bagi kami adalah tidak hanya mengutuk sistem yang ada, tapi juga memberikan solusi dan alternatif lain. Dan alternatif inilah yang kami berikan.

Sebagai awalan, langkah kami pasti akan dicurigai dan dicibir sana sini. Tapi setelahnya kami yakin, bahwa langkah dan terobosan yang kami lakukan ini diam-diam dianggap baik dan perlu sebagai bentuk dukungan penuh atas mereka yang berjuang meluaskan khidmah dan kebermanfaatan.

Ari Aprian Harahap, Penulis adalah Ketua DPP IMM Bidang Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik 2024-2026

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer