KRISIS air bersih yang melanda Gili Trawangan dan Gili Meno, Lombok, Nusa Tenggara Barat, selama empat bulan terakhir sangat mengkhawatirkan. Kelangkaan air ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat lokal, tetapi juga mengakibatkan pembatalan kunjungan oleh sejumlah wisatawan.
Keadaan ini menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan pelaku usaha dan penduduk setempat. Situasi ini menjadi sorotan Tim Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Satgas KPK menemukan indikasi dugaan korupsi proses perizinan antara pemerintah dan pihak swasta.
“Kami mendeteksi adanya niat jahat dalam proses perizinan yang melibatkan berbagai pihak, baik di tingkat daerah maupun pusat,” ungkap Ketua Tim Korsup KPK, Dian Patria di Senggigi, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), dikutip Rabu (21//8).
Menurut dia, praktik ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menciptakan monopoli yang merugikan masyarakat dengan harga air yang tidak wajar dan pelayanan yang buruk. Gili Trawangan dan Gili Meno bergantung saat ini tergantung pada pasokan air dari pihak swasta, sementara Gili Air mendapat suplai dari PDAM melalui pipa bawah laut.
“Namun, operasional penyedia air swasta di Gili Meno terganggu oleh masalah hukum, mengakibatkan gangguan pasokan air bersih,” imbuhnya.
Penemuan KPK juga mengungkap bahwa tempat pengeboran pipa bawah laut milik pihak swasta di Gili Trawangan telah disegel oleh Tim Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Sebab, belum mengantongi izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL). Namun, pihak tersebut diduga tetap melakukan aktivitas pengeboran secara diam-diam.
Di Gili Meno, Tim Korsup KPK menemukan kegiatan tanpa izin pada proyek Portable Reverse Osmosis, yang menurut pemerintah daerah masih dalam proses perizinan. Kondisi ini memperburuk krisis air bersih di kawasan tersebut.
Harga air bersih yang tinggi, mencapai Rp12.000 per galon, semakin memberatkan masyarakat dan pelaku usaha di Gili Trawangan. Masyarakat terpaksa membeli air dari pedagang yang mendatangkan suplai dari daratan Lombok dengan harga yang jauh lebih mahal dibandingkan tarif PDAM di Gili Air, yang hanya Rp4.000 per meter kubik.
Koordinator Wilayah Kerja Gili Matra dari Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang, Marthanina, juga menyoroti dampak lingkungan dari aktivitas pengeboran pipa bawah laut yang merusak ekosistem terumbu karang di kawasan tersebut.
Untuk mengatasi krisis ini, KPK mendorong pemerintah untuk memanfaatkan infrastruktur yang sudah ada, seperti pipa bawah laut PDAM yang sudah dipasang hingga ke Gili Air. Dengan demikian, suplai air bersih dapat diperluas ke Gili Meno dan Gili Trawangan tanpa harus bergantung pada pihak ketiga yang berpotensi merusak ekosistem laut.
KPK terus melakukan koordinasi dan supervisi guna mencegah dan memberantas praktik korupsi yang merugikan masyarakat. Dalam rapat koordinasi pada 16 Agustus 2024, KPK telah mengundang berbagai pihak terkait, termasuk Sekda Provinsi NTB, KemenPU, KemenLHK, hingga PSDKP Benoa, untuk membahas langkah-langkah perbaikan layanan publik dan penertiban aset di kawasan Gili Tramena.