MAKLUMAT – Pengamat politik dan peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC) Surokim Abdussalam menyampaikan pendapatnya soal terjadinya kotak kosong dalam Pilkada serentak 2024 di 5 kabupaten/kota di Jawa Timur, yakni Gresik, Ngawi, Trenggalek, Kota Pasuruan, dan Kota Surabaya.
“Fenomena kotak kosong dalam demokrasi itu saya kira sebuah paradoks. Tapi bagaimana pun ya itu adalah jalan terakhir yang memang harus ditempuh, karena memang tidak ada kandidat lain,” ujar Surokim saat menjadi narasumber acara Bincang-Bincang ‘Dampak Kotak Kosong di Pilkada Serentak’ yang disiarkan JawaPos TV, Selasa (3/9/2024) malam.
Menurut Surokim, kotak kosong dalam Pilkada berdampak pada kualitas demokrasi yang akan menurun drastis. Sebab, berpotensi besar menurunkan tingkat partisipasi publik.
“Ya mungkin kotak kosong punya peluang menang, tapi itu sangat tipis menurut saya. Hampir bisa dipastikan calon tunggal itu menang, sehingga publik berpikir tidak ada pilihan, ngapain ke bilik suara, sehingga mungkin lebih memilih golput yang membuat tingkat partisipasi publik itu menurun,” terangnya.
Surokim menilai, munculnya kotak kosong dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya waktu penyelenggaraan Pilkada serentak 2024 yang berdekatan dengan Pilpres 2024, sehingga perhatian banyak tersedot dan waktu untuk mempersiapkan menuju Pilkada relatif terbatas.
“Kemudian ada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 itu juga mungkin datangnya agak terlambat ya, meskipun telah membuka peluang begitu besar bagi parpol untuk mencalonkan lain dalam Pilkada, tapi karena sebelumnya mungkin sudah terjalin komunikasi dan koalisi akhirnya putusan MK itu ya hanya berlaku sepertinya untuk parpol-parpol yang belum menentukan sikap,” jelas Wakil Rektor III Universitas Trunojoyo Madura (UTM) itu.
“Parpol-parpol juga tidak memiliki keberanian dan terlalu banyak berhitung pragmatis, sehingga tidak berani memunculkan sosok lain dalam pencalonan meskipun sudah diberi ruang melalui putusan MK itu,” sambung Surokim.
Surokim lantas mencontohkan pada bagaimana komunikasi dan konsolidasi politik yang dilakukan dalam Pilkada Kota Surabaya, di mana memunculkan duet petahana Eri Cahyadi dan Armuji sebagai calon tunggal dengan memborong seluruh rekomendasi parpol.
“Pemilu, Pilkada itu kan kita sering sebut pesta demokrasi. Lha kalau seperti ini cuma ada calon tunggal kan pestanya menjadi sepi,” selorohnya.
“Di Pilkada Surabaya itu selalu saya sebut aneh bin ajaib. Bagaimana mungkin semua parpol, 18 parpol itu sepakat tidak ada calon lain, tidak ada figur lain, menyepakati Eri-Armuji, padahal kalau mau ya sebetulnya kan banyak sosok yang sebanding yang bisa melawan Eri-Armuji,” sambung Surokim.
Lebih lanjut, Surokim mengkritik perilaku parpol yang menurutnya seolah hanya menjadi pemandu sorak, alih-alih melakukan kaderisasi yang baik, sehingga membuat para kadernya memiliki kesiapan secara mental untuk didorong maju dalam kontestasi.
Menurut Surokim, fungsi parpol adalah sebagai wadah kaderisasi calon pemimpin yang akan ditarungkan di dalam kontestasi, baik itu Pilkada, Pileg maupun Pilpres.
“Lha ini sekarang kan sepertinya parpol-parpol ini hanya menjadi pemandu sorak, jadi cheerleader, mereka tidak berani memunculkan kadernya sendiri. Buat apa kemudian ada wadah parpol itu kalau kemudian tidak bisa memunculkan opsi? Parpol itu kan wadah untuk mengkader, yang kemudian mereka didorong sebagai calon di dalam kontestasi,” kritiknya.
Surokim menilai, parpol pada akhirnya hanya lebih memilih melakukan pertimbangan secara pragmatis dan ekonomis dalam menentukan sikap terkait pencalonan pada sebuah kontestasi.
“Menurut saya pertimbangan-pertimbangan yang lebih idealis pada akhirnya akan selalu dikalahkan oleh pertimbangan-pertimbangan yang pragmatis dan ekonomis saja, sehingga partai hanya melihat bagaimana peluangnya, tidak berani bertaruh dan bertarung,” kelakarnya.
Calon Perseorangan
Selain itu, Surokim juga menyorot soal minimnya calon perseorangan, yang sebetulnya bisa menjadi salah satu opsi untuk memunculkan kandidat selain dari jalur rekomendasi parpol. Menurut dia, sejauh ini belum ada keseriusan yang matang dari para sosok yang digadang-gadang bisa menjadi calon perseorangan.
“Calon perseorangan itu kan harus serius. Setidaknya harus mempersiapkan jauh-jauh hari, minimal mungkin setahun sebelumnya sudah disiapkan. Persyaratannya kan harus lengkap dan itu cukup berat untuk mengumpulkan dukungan sejumlah yang disyaratkan,” ujarnya.
Menurut Surokim, KPU akan bisa dengan mudah mendeteksi dukungan terhadap calon perseorangan tersebut asli atau palsu melalui tools yang dimilikinya. Sebab itu, dibutuhkan keseriusan dan persiapan yang matang.
“Selama ini para calon perseorangan itu kan mungkin hanya satu atau dua bulan saja menyiapkan pencalonannya. Lha itu menurut saya tidak serius,” tandas Surokim.