MAKLUMAT – Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof Abdul Mu’ti, menyebut istilah ‘musyrik politik’, yang menurutnya sangat membahayakan bagi kehidupan berbangsa.
Hal itu dia sampaikan dalam Musypimwil I PWM Jawa Timur yang digelar di Aula KH Mas Mansyur, Gedung PWM Jatim, Jalan Kertomenanggal IV/1, Kota Surabaya, pada Ahad (15/12/2024).
Menurut Mu’ti, musyrik politik adalah penyimpangan terhadap nilai-nilai, moral-etika dan aturan-aturan politik, serta menghalalkan segala cara demi kepentingannya.
Terutama, praktik-praktik yang mengeksploitasi manusia untuk bisa meraih posisi atau jabatan tertentu, yang menurutnya harus betul-betul dihindari oleh warga Muhammadiyah.
Hal yang demikian, menurut Mu’ti, adalah sama halnya dengan kemusyrikan, hanya saja dalam konteks politik, bukan dalam konteks teologis.
“Kalau Fir’an jelas musyrik teologis. Nah ini musyrik politik ini juga bahaya, musyrik politik ini juga bertentangan dari ajaran tauhid,” ujar Mu’ti dalam sambutannya.
Muhammadiyah Hadir Menjadi Solusi
Lebih lanjut, dalam kesempatan itu Mu’ti juga menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi yang senantiasa dan konsisten menjadi solusi bagi bangsa.
Hal itu, kata pria yang juga menjabat Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) RI itu, tercermin dari teladan sikap sang pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.
Mu’ti mengisahkan, Ahmad Dahlan meskipun berasal dari kalangan priyayi, bergelar Raden Ngabehi, menjadi khatib amin, tapi beliau sangat egaliter. Bahkan tak pernah menggunakan gelarnya itu.
“Beliau adalah sosok yang tidak elitis. Bergaul dengan semua kalangan. KH Ahmad Dahlan punya gelar bangsawan, tapi dia tak pernah memakainya. Dia tidak hanya bergaul dengan kaum terpelajar, tetapi juga kepada masyarakat biasa,” ungkap Mu’ti.
Selain itu, bahwa Muhammadiyah hadir adalah untuk menjawab persoalan umat adalah bukti Muhammadiyah selalu menjadi problem solver. Terbukti dengan berdirinya AUM di bidang pendidikan dan kesehatan sejak awal berdirinya, untuk menjawab persoalan umat.
Bahkan, kata Mu’ti, Majelis Tarjih yang sangat khas dengan Muhammadiyah, justru baru berdiri sekitar tahun 1927 di masa KH Mas Mansyur.
“Muhammadiyah hadir untuk memberikan solusi bersama, menyelesaikan masalah secara kolektif, bukan sekadar mengentertain persoalan,” tandas Mu’ti.