MAKLUMAT — Publik Riau menahan napas. Narasi inspiratif yang lama mereka banggakan kini berakhir getir. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara dramatis memotong perjalanan Abdul Wahid pada Senin (3/11/2025).
Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto membenarkan kegiatan tangkap tangan tersebut. “Benar (OTT di Riau). Salah satunya (Gubernur Riau Abdul Wahid yang diamankan)” ujar Fitroh Rohcahyanto dikutip RRI, Senin (3/11/2025).
Keterangan Fitroh ini membantah spekulasi Gubernur Riau hanya diperiksa. Fitroh menegaskan KPK akan memastikan seluruh proses berjalan cepat, profesional, dan transparan. KPK belum merinci nama tersangka maupun nilai kerugian negara yang diduga timbul dari OTT.
Penangkapan ini mengakhiri kisah inspiratif seorang anak dari keluarga sederhana di Indragiri Hilir. Ia sukses mendaki puncak kekuasaan politik di provinsinya. Namun, kejatuhannya juga menandai babak kelam yang berulang, menjadikannya gubernur Riau keempat yang tersandung korupsi.
Dari Kuli Bangunan Menuju Panggung
Abdul Wahid memulai semuanya dari titik nol. Ia lahir pada 21 November 1980 di dusun terpencil, Anak Peria, Desa Belaras, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil). Tak lama setelah lahir, orang tuanya memboyongnya ke Desa Sungai Simbar. Di sanalah ia tumbuh jauh dari kemewahan.
Kesulitan menempa masa kecilnya. Sebuah tragedi mengguncang keluarga saat sang ayah meninggal dunia. Wahid, yang kala itu baru berusia 10 tahun, terpaksa mandiri lebih dini.
Ia mencicipi kerasnya hidup sebagai kuli bangunan. Ia juga ikut berdagang dengan ayahnya hingga ke Batam dan Singapura. “Tidak pernah saya impi-impikan menjadi gubernur,” ungkap Abdul Wahid dalam sebuah kesempatan.
Kisah hidup yang merakyat inilah yang menjadi modal politik utamanya. Ia memotret dirinya sebagai “putra daerah” yang memahami denyut nadi rakyat kecil. Media pun kelak mengangkat tajuk “Dari Cleaning Service Jadi Gubernur Riau” untuk menggambarkan perjuangannya.
Moncer di PKB, Melesat Cepat ke Senayan
Pendidikan membuka jalan bagi Wahid untuk mengubah nasib. Setelah menamatkan sekolah dasar dan menengah di kampung halaman, ia melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren di Sumatera Barat. Latar belakang santri ini tidak hanya membentuk pemahaman agamanya, tetapi juga etos kepemimpinannya.
Titik balik karirnya terjadi saat ia menempuh pendidikan tinggi di Universitas Islam Negeri (UIN) Suska Riau. Di sinilah jalan politiknya mulai terbuka. Pada 2002, Wahid yang masih berstatus mahasiswa memutuskan bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pilihan ini menentukan seluruh arah karirnya di masa depan.
Karirnya di PKB melesat cepat dan sistematis. Ia meniti tangga kepemimpinan dari posisi Wakil Sekretaris. Akhirnya, ia mendapat kepercayaan menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKB Provinsi Riau. Kepemimpinannya di tingkat provinsi berhasil mengkonsolidasikan basis politiknya dan memberinya panggung untuk melompat lebih tinggi.
Melepas Senayan, Merebut Kursi Riau-1
Lintasan karir elektoralnya menunjukkan kemajuan yang konsisten.Ia menjadi Anggota DPRD Provinsi Riau (2009–2019) selama dua periode. Di sana, ia mengasah kemampuan legislasi dan negosiasi politik, bahkan memimpin fraksi. Sukses di provinsi membawanya ke panggung nasional. Ia lolos sebagai Anggota DPR RI (2019–2024).
Puncak karirnya adalah sebuah pertaruhan besar. Setelah kembali terpilih sebagai anggota DPR RI dengan suara terbanyak pada Pileg 2024, ia memilih melepaskan kursi yang hampir pasti itu. Ia nekat maju dalam Pilkada Riau.
Berpasangan dengan birokrat senior S.F. Hariyanto, ia memenangkan kontestasi dengan raihan 1.224.193 suara. Presiden Prabowo Subianto melantiknya pada 20 Februari 2025.
“Kutukan Gubernur” Berlanjut
Publik menitipkan harapan besar di pundak sang “putra daerah” itu. Namun, harapan itu harus pupus sebelum genap setahun masa jabatannya.
Pada 3 November 2025, tim KPK bergerak senyap di Riau. Tim penyidik mengamankan Abdul Wahid bersama sekitar 10 orang lainnya. Operasi ini diduga kuat terkait praktik suap di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Riau.
Penangkapan ini bukan sekadar peristiwa hukum. Ini adalah pengkhianatan terhadap narasi perjuangan yang telah ia bangun dengan susah payah.
Sosok yang menjadi simbol perjuangan dari bawah itu kini harus berhadapan dengan tuduhan korupsi. Sebuah ironi pahit yang menggarisbawahi rapuhnya integritas di hadapan godaan kekuasaan.
Kejatuhan Abdul Wahid, sayangnya, menambah panjang daftar “kutukan gubernur” di Riau. Ia menyusul tiga pendahulunya—Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Maamun—yang juga berakhir di tangan KPK.