INGAR-bingar kontestasi pemilihan umum (Pemilu) 2024 sudah memanas. Setiap kandidat yang diusung partai politik (parpol) mulai mencuri perhatian publik melalui kampanye baik via media online, sapa warga, olahraga pagi maupun aktivitas lain, meski belum memasuki masa kampanye.
Sebagai negara demokrasi, tidak ada salahnya bagi parpol mendeklarasikan kandidatnya. Namun, masih banyak persoalan yang lebih substantif, yakni menyangkut peran perempuan dalam politik –baik sebagai penyelenggara maupun peserta pemilu yang ikut dalam kontestasi pada ranah eksekutif dan legislatif di tingkat pusat hingga daerah. Dengan kata lain, hingga saat ini kesetaraan gender masih menjadi problem utama dalam proses demokrasi di Indonesia.
Problem Kesetaraan Gender dalam Praktik Demokrasi di Indonesia
Secara umum, gender dapat dipahami sebagai suatu konsep yang menggambarkan harapan-harapan masyarakat kepada laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, gender bukanlah sesuatu yang ditentukan secara biologis, melainkan lebih merupakan konstruksi sosial yang berkaitan dengan norma, nilai, dan harapan yang ada dalam masyarakat.
Sementara itu, kesetaraan gender berkaitan dengan prinsip bahwa semua individu, terlepas dari jenis kelamin mereka, memiliki hak yang sama dalam masyarakat. Artinya, terlepas dari jenis kelamin yang dimilikinya, setiap individu berhak mendapatkan kesamaan perlakuan, akses, hingga peluang. Kesetaraan gender menuntut adanya penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan yang timbul sebagai akibat dari peran gender yang telah ditetapkan secara tradisional.
Dalam praktik politik dan demokrasi, kesetaraan gender memang masih menjadi persoalan yang pelik, terutama yang berhubungan dengan kurangnya representasi perempuan dalam pemerintahan. Perempuan sering kali kurang terwakili dalam posisi kekuasaan politik, baik di tingkat nasional maupun lokal. Kondisi ini tentunya berdampak ketidakadilan dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kepentingan dan kebutuhan perempuan. Partisipasi perempuan Indonesia dari segi kuantitas masih terbilang rendah meskipun adanya kebijakan affirmative action yang memberikan kuota 30 persen bagi perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian White and Aspinall dalam sebuah Journal of Current Southeast Asian Affairs, angka keterwakilan perempuan pada anggota DPR-RI pasca reformasi hanya 8,80 persen pada 1999, kemudian 11,82 persen pada 2004, pada 2009 naik menjadi 17,86 persen, dan 17,32 persen pada 2014, kemudian naik lagi menjadi 20,9 persen pada 2019. Naik turunnya partisipasi perempuan pada setiap pemilu menunjukan masih perlu adanya strategi dan upaya lain yang harus dilakukan untuk penguatan partisipasi politik perempuan.
Dari segi kebijakan pun tidak lebih baik dalam praktiknya. Kebijakan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota maupun penyelenggara negara lainnya kurang berperspektif kesetaraan dan keadilan gender. Akibatnya, belum sepenuhnya perempuan memainkan peran strategis dalam kancah perpolitikan nasional.
Penolakan Peraturan KPU No. 10 Tahun 2023 oleh Para Aktivis Perempuan
Penting untuk dipahami bersama bahwa iklim politik di Indonesia masih mengakar kuat budaya patriarki. Hal ini dapat dilihat dalam realitas politik dewasa ini. Menjelang Pemilu 2024, KPU mengeluarkan Peraturan KPU No. 10 tahun 2023 yang menetapkan beberapa ketentuan terkait pendaftaran parpol. Pertama, Jumlah minimal pendukung –PKPU ini menetapkan jumlah minimal pendukung yang diperlukan bagi partai politik untuk dapat mendaftar. Jumlah ini berbeda tergantung pada wilayah pemilihan (misalnya, tingkat nasional, provinsi, atau kabupaten/kota).
Kedua, Pendaftaran calon perempuan -aturan ini mendorong partai politik untuk memasukkan calon perempuan dalam daftar calon legislatif mereka. PKPU No. 10 tahun 2023 menetapkan persentase minimal calon perempuan yang harus ada dalam daftar calon legislatif, baik untuk tingkat nasional maupun daerah. Ketiga, Mekanisme pendaftaran –PKPU ini juga mengatur prosedur teknis terkait pendaftaran partai politik, termasuk persyaratan administratif, dokumen yang harus diserahkan, dan jadwal pendaftaran.
Namun, terdapat kegusaran oleh para aktivis peduli keterwakilan perempuan yang menemukan bahwa PKPU No.10 tahun 2023 khususnya pada pasal 8 ayat 2 tentang aturan teknis penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan desimal di belakang koma, di mana jika kurang dari 50 persen hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah. Dan jika lebih 50 persen hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas. Hal ini ditakutkan akan semakin mempengaruhi jumlah perempuan yang ada di dapil-dapil terutama dapil-dapil tertentu yang kursinya sedikit serta komitmen partai untuk memenuhi kuota 30 persen sesuai UU No. 22 tahun 2007 tentang penyelenggara pemilu.
Sejatinya, PKPU No. 10 tahun 2023 bertujuan untuk mendorong partisipasi politik perempuan dan meningkatkan representasi perempuan di dalam partai politik serta dalam proses pengambilan keputusan politik di Indonesia. Yang mana diharapkan peraturan ini merupakan salah satu upaya untuk mencapai kesetaraan gender dan mengatasi kesenjangan dalam partisipasi politik antara laki-laki dan perempuan justru malah mendiskreditkan kuota keterwakilan 30 persen perempuan yang akan berpotensi berkurangnya jumlah caleg perempuan akibat peraturan baru tersebut.
Jadi, apa yang sudah diperjuangkan secara kolektif oleh aktivis perempuan untuk pemenuhan hak-hak perempuan dalam bidang politik nyatanya tidak akan pernah selesai. Meskipun partisipasi perempuan sudah diakui dalam politik, pada praktiknya masih jauh dari kata adil, kolaboratif, dan transparan.
Peningkatan jumlah perempuan di parlemen harus diikuti dengan kebijakan yang ramah gender untuk mewujudkan pentingnya keterwakilan perempuan di parlemen. Dalam perkembangannya pasca implementasi afirmasi dalam UU No. 10 tahun 2008 agar tidak ada perlakuan yang diskriminatif terhadap hak-hak perempuan. Nyatanya, masih sangat sulit untuk dapat menembus critical mass dalam electoral politics di setiap tingkatan parlemen baik DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.
Persoalan ini tidak hanya pada peraturan KPU semata, melainkan terdapat persoalan lainnya seperti keberadaan dan keterlibatan perempuan dalam Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPP) –KPU Bawaslu baik di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota yang tidak memenuhi kuota 30 persen, bahkan terdapat tim seleksi yang umumnya masih didominasi oleh laki-laki sehingga syarat akan nepotisme, tentunya tidak sesuai dengan ketentuan UU Penyelenggara Pemilu.
Kesadaran Politik Kolektif yang Berperspektif Gender untuk Pemilu yang Demokratis
Sebagai negara demokrasi yang menganut sistem politik proporsional, warga negara laki-laki maupun perempuan memiliki hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam ranah politik. Hal tersebut harus terus diperjuangkan oleh Indonesia dalam berkontribusi dan membangun kehidupan berpolitik yang lebih baik, karena tanpa keterlibatan perempuan di dalamnya sesungguhnya demokrasi akan pincang.
Kendati lambat, komitmen untuk terus mewujudkan kesetaraan gender dalam bidang politik harus terus diperjuangkan melalui pendidikan politik yang menyeluruh dan kerjasama semua pihak, sehingga perempuan tidak lagi termarginalisasi dan konsepsi pengarusutamaan gender tidak terkesan merangkak.
Afirmasi kuota 30 persen sangatlah penting karena harus ada perempuan-perempuan yang mampu membawa aspirasi dan kepentingan kaumnya di parlemen. Itu mengingat parlemen merupakan tempat pengambilan sebuah kebijakan. Artinya perempuan harus menjadi bagian dari pengambil kebijakan agar tidak ada lagi kebijakan-kebijakan yang maskulin dan tidak adil gender.
Untuk menuju pemilu serentak 2024 yang demokratis dan berintegritas, tentunya tidak bisa mengabaikan partisipasi perempuan karena peran perempuan dalam politik bisa memberikan diferensiasi yang signifikan. Keberadaan laki-laki yang hanya memiliki perspektif gender saja tidaklah cukup untuk mengakomodir isu-isu perempuan sehingga harus ada perspektif perempuan dalam proses legislatif untuk dapat menghasilkan kebijakan maupun produk hukum yang memberikan perlindungan dan pemenuhan hak perempuan serta anak-anak. Hal tersebut tercermin dalam disahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan pada 12 April 2022 silam.
Ketika masyarakat telah menyadari pentingnya partisipasi perempuan dalam politik, maka mereka dapat lebih aktif dalam mempengaruhi kebijakan publik dan mengambil bagian dalam pemilu. Hal ini tentunya dapat membantu mengatasi kesenjangan gender dalam representasi politik dan memastikan bahwa suara perempuan didengar dan dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan publik sehingga tidak hanya menguntungkan segelintir orang atau partai tertentu.
Kesadaran politik berbasis gender harus terus kita gaungkan tidak hanya untuk proporsi keterwakilan kuota perempuan 30 persen, melainkan juga sebagai keberlangsungan demokrasi yang inklusif dan partisipasi politik yang efektif. Jangan sampai kesadaran politik yang sudah terbentuk dalam masyarakat, justru dari pihak penyelenggara malah dibuat mundur dengan adanya regulasi yang bias gender. Semoga politik 2024 menjadi momentum untuk bangsa terutama kaderisasi partai politik dengan menghasilkan para pemimpin-pemimpin integritas, cakap, compatible dengan rekam jejak yang mampu dipertanggungjawabkan tidak hanya secara kuantitas, melainkan juga kualitas. (*)
Ikhrotul Fitriyah, Penulis adalah Pengamat Politik Perempuan dan Kandidat Magister Kajian Wanita Universitas Brawijaya Malang