30.1 C
Malang
Jumat, Mei 3, 2024
OpiniAkal Politik Muhammadiyah: Skripturalis-Rasional vs Substansialis-Pragmatis

Akal Politik Muhammadiyah: Skripturalis-Rasional vs Substansialis-Pragmatis

Dr. phil. Ridho Al-Hamdi, MA.

SAAT jelang Pemilu serentak 2024, Muhammadiyah kembali dihadapkan pada dinamika internal organisasi, antara kelompok yang ingin menjaga diri dari tarik-menarik urusan politik praktis, dan kelompok yang menginginkan agar organisasi ini terlibat bahkan menceburkan diri ke urusan politik praktis: dukung mendukung ke capres-cawapres serta ke partai politik tertentu.

Dalam opini penulis berjudul Muhammadiyah dan politik: Dinamika yang kompleks di harian Media Indonesia edisi 25 November 2022 dan buku Paradigma Politik Muhammadiyah: Epistemologi Berpikir dan Bertindak Kaum Reformis (2020) telah diuraikan dinamika relasi antara Muhammadiyah, dan politik yang dibangun melalui perjalanan waktu panjang.

Pertama, fase kesadaran individual sejak 1912-1971 yang terdiri atas pergulatan identitas Muhammadiyah, terutama dengan Sarekat Islam (SI), Masyumi, dan Parmusi serta berbagai gerakan politik lainnya.

Kedua, fase kesadaran institusional sejak 1971-kini berupa peneguhan posisi Muhammadiyah, untuk tidak lagi berpolitik praktis seperti serta mengambil peran sebagai kekuatan kelompok kepentingan (interest group) dan kekuatan moral (moral force). Perjalanan inilah, yang pada akhirnya membentuk apa yang disebut dengan ‘akal politik Muhammadiyah’.

Apa itu akal politik Muhammadiyah?

Akal Muhammadiyah dapat dipahami sebagai cara berpikir dan bertindak para elite, kader, anggota, warga, dan simpatisan Muhammadiyah dalam merespons segala hal. Akal Muhammadiyah di bidang keagamaan, harus merujuk pada keputusan-keputusan Majelis Tarjih. Akal Muhammadiyah di bidang pendidikan harus merujuk pada pedoman dan tata aturan Majelis Dikdasmen dan Majelis Diktilitbang Muhammadiyah.

Begitu juga dengan akal Muhammadiyah di bidang politik harus merujuk pada keputusan-keputusan organisasi, baik yang sudah diputuskan oleh Muktamar, Tanwir, maupun forum-forum resmi lainnya.

Karena itu, akal Muhammadiyah ialah konsistensi antara berpikir dan bertindak. Karena itu, konsep ‘akal politik Muhammadiyah’ dapat dimaknai sebagai konsistensi cara berpikir dan cara bertindak warga Muhammadiyah dalam urusan politik, baik itu politik yang bersifat umum maupun politik praktis terkait dengan kekuasaan, kepemerintahan, kepartaian, dan kepemiluan. Setiap tindakan politik yang diambil oleh warga Muhammadiyah, harus diputuskan dengan merujuk pada keputusan-keputusan organisasi.

Maka dari itu, segenap warga Muhammadiyah harus memiliki kesadaran dalam memahami segala aturan yang berlaku di Muhammadiyah. Jika tidak, cara berpikir dan bertindaknya bisa tidak sesuai dengan aturan Muhammadiyah.

Faktor yang memengaruhi

Pembentukan akal politik Muhammadiyah tentu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sejarah politik Muhammadiyah di masa lalu sejak 1912 hingga kini. Proses panjang satu abad lebih itulah, yang telah membentuk ‘akal politik Muhammadiyah’ di masa kini untuk menjadi bekal yang kuat dalam menghadapi realitas di masa depan. Setidaknya, ada empat faktor yang memengaruhi pembentukan akal politik Muhammadiyah.

Pertama, faktor Muhammadiyah sebagai gerakan Islam di bidang kemasyarakatan. Sejak kelahirannya, Muhammadiyah ialah organisasi Islam yang bergerak konsisten di bidang dakwah kemasyarakatan, bukan bidang politik. Hal ini dibuktikan dengan penolakan Ahmad Dahlan atas permintaan politisi Sarekat Islam (SI), Agus Salim, terkait ajakan agar Muhammadiyah menjadi gerakan politik. Ketika Kyai Misbach, politisi SI merah yang juga orang Muhammadiyah, sering diundang dalam kongres tahunan Muhammadiyah, dia selalu mengusulkan agar Muhammadiyah menjadi partai politik, tetapi usulan itu ditolak juga oleh Ahmad Dahlan.

Usulan serupa agar menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan politik juga pernah dilakukan oleh HOS Cokroaminoto ke Ahmad Dahlan, tetapi lagi-lagi gagal. Begitu juga, penolakan Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Ahmad Badawi atas permintaan Presiden Soeharto agar Muhammadiyah menjadi partai politik saja ketika proses pendirian partai baru (yang kemudian melahirkan Parmusi).

Khitah Ujung Pandang 1971 menjadi tanda awal adanya transformasi kesadaran politik Muhammadiyah, dari kesadaran individual menuju kesadaran institusional yang meneguhkan, bahwa Muhammadiyah ialah gerakan dakwah Islam yang bergerak di bidang kemasyarakatan yang kemudian disempurnakan oleh Muktamar Muhammadiyah 1978, dan dilengkapi dengan Khitah Denpasar 2002 sebagai khitah Muhammadiyah dalam berbangsa dan bernegara.

Khitah Ujung Pandang selalu menjadi rujukan utama dalam urusan politik bagi warga Muhammadiyah ketika mereka menghadapi pihak lain yang menginginkan Muhammadiyah berubah menjadi partai politik atau Muhammadiyah harus mendirikan partai politik. Ini pula yang menjadi keyakinan Buya Syafii Maarif, bahwa memang Muhammadiyah itu dirancang tidak untuk mengurus negara-pemerintahan, tetapi mengurus masyarakat dan dakwah saja.

Kedua, faktor Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modernis. Bila merujuk pada pemikiran Geertz (1960), Muhammadiyah mudah berkembang di kawasan perkotaan daripada perdesaan. Di kawasan perkotaan, mayoritas masyarakatnya cenderung lebih terdidik dan memiliki kesibukan di dunia industri sehingga dakwah Muhammadiyah dalam menghadapi masyarakat jenis ini lebih mudah diterima karena forum-forum diskusi dan pengajian umum sudah cukup menjadi ruang dalam mempelajari ajaran agama.

Karena etos kerja dan etos beramal usaha di tubuh Muhammadiyah yang luar biasa selalu hidup, institusi-institusi profesional dengan mudah bisa tumbuh dan menjamur di lingkungan Muhammadiyah meskipun Muhammadiyah menjadi minoritas di kawasan tertentu. Ini tidak bisa dilepaskan dengan doktrin beragama di Muhammadiyah, bahwa takdir itu ditentukan oleh si manusia dan kerja keras.

Cara berpikir dan bertindak gerakan Islam modernis-reformis yang dilandaskan pada etos kerja yang penuh semangat inilah, yang kemudian menyebabkan cara berpikir dan bertindak warga Muhammadiyah mengarah pada pilihan yang bersifat rasional dan pragmatis.

Ketiga, faktor pengaruh nilai-nilai di Muhammadiyah. Nilai-nilai Muhammadiyah sudah seperti sebuah ‘perpustakaan ideologi’. Kita bisa menjumpai ajaran Teologi Al-Ma’un dan Teologi ‘Al-Ashri yang menjadi inti pelajaran Ahmad Dahlan, Langkah 12 Mas Mansur, Muqoddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah (MADM) rumusan Ki Bagus Hadikusumo, Kepribadian Muhammadiyah rumusan Faqih Usman, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH) Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih (HPT), konsep ‘Politik Helm’ ala AR Fakhruddin, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM), tauhid sosial dan gagasan politik adiluhung/luhur (high politics) yang dipopulerkan Amien Rais, gagasan Pancasila sebagai Darul Ahdi wasy-Syahadah, dan nilai-nilai lainnya. Nilai-nilai tersebut selalu disampaikan dalam forum-forum Muhammadiyah seperti perkaderan Baitul Arqam/Darul Arqom/Ideopolitor dan forum perkaderan di tingkat Ortom, pelatihan-pelatihan, pengajian serta rapat-rapat sebagai bentuk indoktrinasi kepada warga Muhammadiyah tentang apa dan bagaimana Muhammadiyah itu. Apalagi, doktrin ‘hidup-hidupilah Muhammadiyah, dan jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah’ seakan menjadi nilai dasar yang sangat diyakini oleh warga Muhammadiyah. Demikianlah nilai-nilai yang ada di Muhammadiyah, turut menjadi faktor yang memengaruhi pembentukan karakteristik akal politik Muhammadiyah.

Keempat, faktor Khitah Ujung Pandang cs. Khitah perjuangan Muhammadiyah, berarti garis perjuangan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh Muhammadiyah dalam merespons realitas tertentu. Khitah yang paling terkenal dan menjadi rujukan bagi warga Muhammadiyah ialah Khitah Ujung Pandang yang ditetapkan pada Muktamar Muhammadiyah 1971. Meskipun Khitah Ujung Pandang disempurnakan lagi dengan Khitah Surabaya 1978, Khitah Ujung Pandang masih menjadi tolok ukur awal kesadaran institusional tentang dinamika Muhammadiyah dan politik praktis. Dalam khitah tersebut ditegaskan bahwa Muhammadiyah tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu partai politik atau organisasi apa pun.

Khitah Ujung Pandang dan Khitah Surabaya sangat tegas terkait relasi Muhammadiyah dengan politik praktis, terutama politik kepartaian. Karena itu, Khitah Ujung Pandang ini selalu menjadi ‘dalil politik’ yang paling mutawatir (tingkat kesahihannya sangat tinggi) dalam menepis keinginan sebagian warga Muhammadiyah terhadap pelibatan Muhammadiyah secara aktif dalam politik praktis.

Keputusan Muhammadiyah untuk tidak terlibat lebih jauh dalam pendirian Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998, termasuk juga Partai Matahari Bangsa (PMB) pada 2006, ialah bukti konkret pelaksanaan Khitah Ujung Pandang. Konsistensi netralitas Muhammadiyah dalam politik praktis tetap dijaga pada Pemilu 2014 dan 2019 meskipun aspirasi politik warga Muhammadiyah dituangkan dalam lembaga yang bernama ‘Tim Sukses’.

Patut digarisbawahi dalam konteks Pemilu 2004, Muhammadiyah seakan keluar dari jalur Khitah Ujung Pandang karena terkesan terlibat aktif dalam proses dukung-mendukung pada Pilpres 2004, yakni Amien Rais sebagai salah satu kontestannya. Meskipun pernyataan dukungan Muhammadiyah terhadap pencapresan Amien Rais terkesan halus, tapi publik sudah paham bahwa Muhammadiyah aktif terlibat dalam proses kampanye untuk kader terbaiknya tersebut. Kekalahan Amien Rais sebagai tokoh Reformasi di Pilpres 2004 semakin membuat Syafii Maarif yakin bahwa Muhammadiyah itu didesain sejak awal pendiriannya hanya untuk mengurusi masyarakat dan dakwah, tidak untuk mengurus negara-pemerintahan.

Karakteristik akal politik Muhammadiyah

Ada empat karakteristik akal politik Muhammadiyah yang digunakan sebagai cara berpikir dan cara bertindak warga Muhammadiyah dalam menghadapi dinamika politik.

Pertama, akal skripturalis. Akal ini ingin tetap menjaga kemurnian gerakan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah Islam dari ketercampuran aktivitas politik praktis. Karena itu, kelompok ini menjaga agar Muhammadiyah konsisten di jalur dakwah kemasyarakatan dan bukan jalur politik kekuasaan.

Kedua, akal rasional. Akal ini ialah konsekuensi dari Muhammadiyah sebagai gerakan Islam reformis-modernis. Menurut Shihab (2016), semangat Muhammadiyah dalam melakukan rasionalisasi ajaran dan sistem kepercayaan, organisasi, dan perilaku kehidupan serta merubah model kepemimpinan karismatik di bawah Dahlan ke dalam kepemimpinan kolektif menunjukkan relevansi model rasionalisasi Weberian. Karena itulah, Muhammadiyah berusaha keras merasionalisasikan cara hidup dengan menyebarluaskan ajaran-ajaran modernisme Islam yang bertentangan dengan cara hidup Jawa tradisional. Karakteristik rasional biasanya cenderung dekat pada karakter pragmatis: mencari keuntungan atau kebermanfaatan sebanyak-banyaknya, dari pada kerugian atau kemadharatan.

Ketiga, akal substansialis. Pemikiran substantivistik lebih menekankan substansi ajaran daripada simbol keagamaan. Ajaran-ajaran Islam memiliki makna yang universal dan harus dikontekstualisasikan dengan realitas sosial. Karakteristik substansialis ialah konsekuensi logis dari karakteristik rasional. Orang yang bersikap rasional biasanya cenderung berpikir substansialis dan menerima sikap perbedaan serta cenderung toleran.

Keempat, akal pragmatis. Alfian (1989) menyebut Ahmad Dahlan sebagai seorang pragmatis sejati (the real pragmatist). Hal ini terlihat dengan sikap dan perilaku Dahlan selama dia hidup, yakni Dahlan akan mengambil sesuatu hal jika dia berpikir hal itu memang yang terbaik. Dahlan akan melakukan tindakan tertentu jika hal itu dianggapnya benar dan bermanfaat bagi umat muslim. Dahlan tidak malu-malu meniru kegiatan sosial yang sudah dikerjakan oleh umat kristiani, seperti pelayanan kesehatan serta meniru pemikiran gerakan modernis lain baik yang datang dari Indonesia ataupun dari luar negeri.

Sikap pragmatis juga ditunjukkan oleh Ahmad Badawi ketika Muhammadiyah memberikan penghargaan ‘Bintang Muhammadiyah’ kepada Soekarno yang menjadi strategi agar Soekarno tidak menyingkirkan Muhammadiyah dari percaturan politik nasional saat itu. Sikap-sikap pragmatis juga dicontohkan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya.

Dua mazhab akal politik Muhammadiyah

Berdasarkan uraian di atas, akal politik Muhammadiyah dapat dibagi menjadi dua mazhab. Mazhab pertama ialah akal skripturalis-rasional. Akal pertama ini adalah akal yang mendominasi mayoritas warga Muhammadiyah. Mazhab kedua ialah akal substansialis-pragmatis yang merupakan akal minoritas di kalangan Muhammadiyyin. Akal kedua bisa disebut juga sebagai akal marginal atau akal yang terpinggirkan karena memang hanya sebagian kecil yang memiliki akal kedua ini. Karena itu, jika akal dominan adalah akal massa, akal marginal ialah akal elite. Artinya, akal dominan ialah akal mayoritas dan akal marginal ialah akal minoritas.

Akal skripturalis-rasional

Akal skripturalis-rasional beranggapan: (1) Muhammadiyah tidak perlu terlibat dalam politik praktis kekuasaan. (2) Mereka tidak memiliki ketertarikan pada urusan politik praktis dan cenderung mencari sektor lain yang dianggap lebih nyaman untuk kehidupan, baik melalui bidang pendidikan, kesehatan, kegiatan sosial, dan lainnya. (3) Terlibat politik praktis hanya akan merugikan diri sendiri, bahkan lebih banyak membawa pada hal yang mengarah pada kerusakan, seperti sikap saling curiga, saling benci, dan memusuhi satu sama lain. Di sinilah pertimbangan rasionalnya juga muncul. Karena itu, akal ini (4) cenderung bersikap oposisi terhadap kekuasaan. Meskipun bersikap oposan, kelompok ini tetap menginginkan kekuasaan tanpa mau berjuang total melalui politik praktis.

Sederhananya, kelompok ini benci dan beroposisi pada pemerintah, tapi tetap butuh subsidinya. Kesan yang muncul, Muhammadiyah alergi pada politik. Untuk menggambarkan sikap ‘oposisi absurd’ ini, logika ‘politik hijrah’ atau politik nonkooperatif Sarekat Islam yang diberlakukan pada pemerintah Belanda saat prakemerdekaan dapat menggambarkan situasi alam bawah sadar mayoritas akal politik Muhammadiyah di era kekinian.

Akal skripturalis-rasional banyak diadopsi oleh mayoritas warga Muhammadiyah. Karena itu, akal pertama ini sering disebut dengan ‘akal dominan’. Mereka lebih tertarik menempatkan Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan (interest group) dan kekuatan moral (moral force) daripada sebagai kekuatan politik praktis. Warga Muhammadiyah yang mengadopsi akal ini berpikir rasional bahwa perjuangan melalui politik praktis lebih banyak berdampak buruk daripada berdampak positif.

Bagi kelompok ini, lebih baik terjun ke sektor lain yang lebih terlihat manfaatnya, seperti pengusaha, dosen, ASN, dan sejenisnya. Kelompok ini pada dasarnya ingin menjaga kemurnian Muhammadiyah dari campuran politik praktis, dan memilih berjuang melalui dakwah kemasyarakatan.

Untuk memperjuangkan kepentingan politiknya, kelompok ini menggunakan strategi lobi elite, memengaruhi pembuat kebijakan, dan pengajuan kerja sama program. Karena itu, kelompok ini menjadikan pemerintah sebagai patron guna melancarkan program-program.

Akal substansialis-pragmatis

Akal substansialis-pragmatis memiliki prinsip: (1) cita-cita perjuangan Muhammadiyah harus diwujudkan dalam perjuangan politik praktis melalui partai politik dan pemilu. Mazhab ini (2) memiliki ketertarikan untuk terjun dalam politik praktis, baik itu menjadi aktivis di partai politik maupun terlibat dalam perjuangan di kepemiluan, baik itu sebagai caleg, capres, kepala daerah atau tim sukses.

Bagi akal ini, (3) perjuangan Muhammadiyah di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial lainnya harus dikawal melalui perjuangan politik praktis agar targetnya sesuai dengan yang dicita-citakan. Perjuangan melalui pembuatan undang-undang dan perda, serta perjuangan dalam pembuatan anggaran ialah cara paling mujarab untuk mewujudkan cita-cita ‘masyarakat Islam yang sebenar-benarnya’.

Akal ini hanya dimiliki oleh minoritas warga Muhammadiyah. Karena itu, akal ini sering disebut juga dengan ‘akal marjinal’ karena akal ini memang terpinggirkan dan tidak didukung oleh kebijakan organisasi. Bagi akal ini, meskipun perjuangan politik tidak semudah di perjuangan dakwah, Muhammadiyah harus mengambil peran strategis dengan menempatkan banyak kadernya di partai politik. Bahkan bila perlu Muhammadiyah memiliki partai politik.

Kelompok ini, pada dasarnya juga tetap ingin menjaga kemurnian Muhammadiyah dari campuran politik praktis, tetapi Muhammadiyah juga harus konsen untuk memikirkan perjuangan melalui jalur politik praktis, apakah itu mendirikan partai politik sendiri, atau mendesain penempatan kader-kadernya agar terdiaspora ke berbagai partai politik. Perjuangan model ini bisa disebut juga dengan perjuangan struktural sebagai pembeda dari perjuangan kultural yang lebih dekat ke akal yang pertama.

Tak heran jika akal ini ialah akal elite. Artinya, akal tersebut hanya bisa diperankan oleh tokoh puncak persyarikatan karena situasi yang memaksa mereka harus menggunakan akal ini. Di sinilah terkadang terjadi kesenjangan akal antara elite dan massa. Fenomena Pilpres 2019 juga membuktikan bahwa terjadi perbedaan antara akal elite dan akal massa, yakni akal elite cenderung menggunakan akal substansialis-pragmatis sedangkan akal massa lebih menggunakan akal skripturalis-rasional. Warga Muhammadiyah di akar rumput cenderung pro-Prabowo, sedangkan sebagian besar tokoh Muhammadiyah lebih mendukung Jokowi meski harus diam-diam karena takut kehilangan dukungan umat pada muktamar berikutnya.

Dengan begitu, mazhab ini memiliki misi untuk merebut kekuasaan. Tulisan ini meyakini bahwa di hati para aktivis Muhammadiyah yang menjadi politisi di partai politik masih terbersit memperjuangkan cita-cita Muhammadiyah tanpa harus melibatkan secara organisatoris. Karena itulah, mereka dikelompokkan dalam akal substansialis-pragmatis.

Demikianlah, dua mazhab akal politik ini (Akal Skripturalis-Rasional versus Akal Substansialis-Pragmatis) tetap akan terus mewarnai dinamika politik di internal Muhammadiyah. Di sinilah kepemimpinan Muhammadiyah diuji untuk menjaga martabat dengan tetap mendiasporakan kader-kadernya ke partai politik, maupun lembaga-lembaga politik lainnya sebagai bagian dari jalur dakwah Islam berkemajuan. (*)

Ridho Al-Hamdi, Penulis adalah Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Wakil Dekan FISIPOL Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Tulisan ini sudah pernah dimuat dan bersumber dari: https://mediaindonesia.com/opini/579920/akal-politik-muhammadiyah-skripturalis-rasional-vs-substansialis-pragmatis

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer