25.4 C
Malang
Sabtu, Juli 27, 2024
KilasBukan Mustahil Duet Kader NU dan Muhammadiyah Pimpin Jawa Timur

Bukan Mustahil Duet Kader NU dan Muhammadiyah Pimpin Jawa Timur

Wakil Ketua PWM Jatim M. Khoirul Abduh.

DUET kader Nahdlatul Ulama (NU) dengan kader Muhammadiyah menjadi pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur bukan mustahil dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) serentak 2024 mendatang.

Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur M. Khoirul Abduh mengatakan, upaya tersebut sangat mungkin terjadi apabila Persyarikatan Muhammadiyah mampu mengkapitalisasi kekuatan dan sumberdaya yang dimilikinya.

”Kalau data Persyarikatan kita valid dan tertata rapi, tidak mustahil calon yang ditawarkan oleh Persyarikatan akan digandeng oleh partai Politik. Saya yakin Ibu Khofifah Indar Parawansa akan mau diduetkan dengan calon dari Muhammadiyah. Sudah saatnya NU-Muhammadiyah bersanding,” katanya dalam acara Regional Meeting IV, Ahad (27/8/2023).

Kegiatan tersebut diadakan oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PWM Jatim di Hotel Luminor Sidoarjo. Hadir ratusan peserta perwakilan dari LHKP Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Sidoarjo, Surabaya, Kota/Kabupaten Pasuruan dan Kota/Kabupaten Probolinggo. Hadir juga perwakilan Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) se Sidoarjo.

Pria asal Jombang itu menyatakan, penting bagi Persyarikatan Muhammadiyah memiliki daya tawar dan daya gebrak ketika terlibat di dunia politik. Selain itu, ketika berpolitik warga persyarikatan harus berbasis data. Sebab, politik itu sangat rasional dan bisa dikalkulasi secara matematis.

”Ketika berpolitik kita harus berbasis data dan harus bisa lakukan rekayasa sosial. Kita bisa gunakan perencanaan dalam upaya untuk mengelola perubahan sosial. Juga untuk mengatur perkembangan masa depan dan perilaku masyarakat,” jelasnya.

Lebih lanjut Abduh mengajak warga Muhammadiyah untuk melihat sejarah dari perang khandaq dan juga perang Uhud. Yang mana, dalam perang khandaq Nabi Muhammad SAW berperang tidak dengan pasukan dan senjata berlebih.

“Nabi berperang dengan siasat dan strategi. Nabi mengirim intelejen untuk mencari tahu kekuatan lawan, dan kemudian nabi mendengar usul Salman Al-Farisi, agar umat Islam bertahan dengan menggali parit (Khandaq). Atas izin Allah SWT umat Islam menang perang,” terangnya.

Sementara, lanjut dia, dalam perang di Bukit Uhud, Nabi memilih 50 orang pemanah ahli di bawah pimpinan Abdullah bin Jabir untuk menjaga garis belakang pertahanan. Mereka diperintahkan Nabi agar tidak meninggalkan tempat tersebut, apapun yang terjadi, menang atau kalah.

Singkat cerita, perang dasyat pun berkobar. Pertama-tama prajurit Islam dapat memukul mundur tentara musuh yang memiliki kekuatan jauh lebih besar. Sayangnya, kemenangan yang sudah di depan mata itu tiba-tiba gagal karena godaan harta ghanimah. Akhirnya pasukan muslim berbalik kalah lantaran berebut ghanimah atau hasil rampasan perang.

“Nah, kita mau belajar dari perang khandaq atau perang Uhud. Kita mau pilih yang mana, berpolitik dengan strategi atau mau berebut ghanimah,” pesannya.

Mantan Ketua PWPM Jatim itu kemudian menyinggung kontribusi dan sumbangsih besar yang diberikan oleh Persyarikatan kepada bangsa dan negara Indonesia. Dimana, selama ini Persyarikatan Muhammadiyah telah memerankan diri sebagai partnership dari pemerintah.

Organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada tahun 1912 tersebut telah banyak membantu Pemerintah melalui pendirian lembaga pendidikan, lembaga sosial dan pelayanan kesehatan. Bahkan, Persyarikatan berlagak sebagai departemen sosial jika ada musibah atau bencana alam melanda.

“Dana miliaran rupiah digelontorkan oleh Persyarikatan Muhammadiyah untuk bisa membantu para korban bencana tanpa memandang agamanya. Kadang kala Muhammadiyah hadir mengambil alih tugas negara,” ungkapnya.

Sayangnya, dalam konteks politik kekuasaan Persyarikatan kurang mendapat perhatian dari pemerintah, bahkan Persyarikatan cenderung termarjinalkan. Kondisi itu terjadi lantaran tidak banyak kader Persyarikatan yang kini duduk di kekuasaan, baik itu ditataran eksekutif maupun di legislatif.

“Kita tidak punya banyak kader yang bisa memperjuangkan kepentingan politik Muhammadiyah. Sehingga support dari pemerintah sangat minimalis. Baik itu anggaran atau lainnya jauh dari lebih kecil kontribusi nyata yang diberikan oleh Persyarikatan,” sebutnya.

Maka dari itu, Abduh mendorong, supaya kader Persyarikatan untuk mengambil peran politik kebangsaan dengan cara berpolitik menggunakan atau berbasis data. “Jangan sampai kader-kader kita berpolitik atas dasar kira-kira. Konyol nantinya. Berpolitik harus berbasis data,” terangnya. (*)

Reporter: Ubay NA

Editor: Aan Hariyanto

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer