30 C
Malang
Jumat, Mei 17, 2024
KilasCatatan Aisyiyah untuk Penyelenggaraan Pemilu 2024, Belum Ramah Kelompok Rentan

Catatan Aisyiyah untuk Penyelenggaraan Pemilu 2024, Belum Ramah Kelompok Rentan

Tri Hastuti Nur Rochimah

PIMPINAN Pusat (PP) Aisyiyah mencatat beberapa temuan dalam penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024 yang harus diperhatikan. Salah satu temuan adalah Pemilu masih kurang ramah terhadap kelompok rentan alias Pemilu belum benar-benar inklusif.

Sekretaris Umum PP Aisyiyah Tri Hastuti Nur Rochimah mengatakan, hak politik setiap warga negara harus dijamin oleh pemerintah, tak terkecuali para pemilih kategori rentan. Seperti penyandang disabilitas, lansia maupun perempuan hamil. Namun, faktanya masih terdapat kesenjangan antara kebijakan yang ada dengan pelaksanaannya di lapangan.

Padahal, lanjut dia, Pemilu inklusif telah diatur dalam UUD 1945, UU 7 Tahun 2017 yang mengatur tentang penyelenggaraan Pemilu yang aksesibel dan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas, dan UU 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas yang di dalamnya menjamin tentang hak politik penyandang disabilitas.

“Kita menyampaikan apresiasi atas upaya KPU dan Bawaslu yang telah melakukan sosialisasi Pemilu kepada kelompok rentan. Sebab, sebagian besar KPPS di lokasi pemantauan yang dilakukan oleh Aisyiyah sudah menerapkan prinsip inklusivitas. Namun, masih ditemukan beberapa catatan penting agar dalam pelaksanaan Pilkada nanti maupun Pemilu yang akan datang lebih inklusif,” katanya dalam siaran pers yang diterima Maklumat.id, Kamis (22/2/2024).

Tri mengungkapkan, pemantauan yang dilakukan Aisyiyah difokuskan pada inklusivitas TPS bagi lansia dan ibu hamil sebagai kelompok rentan. Di mana ditemukan 174 TPS (83 persen) dari total 210 TPS yang berada dalam pemantauan pihaknya terdapat pemilih ibu hamil, dan di semua TPS (100 persen) terdapat lansia.

“Kelompok rentan terdapat di semua TPS. Seharusnya semua TPS ramah bagi lansia dan ibu hamil. Namun, baru di 131 TPS (62 persen) yang menyediakan kursi prioritas bagi ibu hamil-lansia, dan 79 TPS (38 persen) belum menyediakan kursi prioritas. Kebanyakan TPS atau 95 persen (199 TPS) juga belum menyediakan ruang bermain/mainan untuk memfasilitasi pemilih yang harus membawa anak/balita ke TPS,” ungkapnya.

Selain itu, Tri menerangkan, tidak semua lansia juga menggunakan hak pilihnya. Hal itu berdasarkan temuan tim yang mencatat sekitar 36 persen (75 TPS) pemilih lansia memiliki kesulitan mobilitas. Sehingga mereka tidak memberikan suaranya dikarenakan beberapa alasan.

Mulai dari tidak berkenan memilih, tidak bisa memilih karena waktu bagi KPPS sangat terbatas untuk mendatangi tempat tinggal lansia tersebut agar bisa memberikan suara dan tidak ada keluarga yang mengantar ke TPS.

“Meski di 64 persen TPS, lansia yang memiliki kesulitan mobilitas masih tetap bisa memberikan suaranya karena ada pendamping keluarga yang mengantar. Juga ada pendamping dari KPPS, KPPS dan pihak terkait mendatangi tempat tinggal agar lansia bisa memilih,” jelasnya.

Terkait dengan penyandang disabilitas, Tri menyebutkan, masih terdapat ketimpangan, yaitu antara disabilitas yang terdaftar dalam DPT dengan jumlah pemilih disabilitas sebenarnya di lapangan. Hal itu tentu saja memangkas hak suara bagi kaum disabilitas yang belum terdaftar dalam DPT.

“Di 210 TPS (yang kami pantau), terdapat 589 pemilih disabilitas. Namun pemilih difabel yang terdaftar sebanyak 530 (90 persen), sedangkan 59 (10 persen) lainnya tidak terdaftar,” ujarnya.

Menurut Tri, ada beberapa faktor atau alasannya terkait problem validitas pendataan difabel. Salah satunya terkait minimnya pemahaman KPPS tentang ragam difabel.

“Terdapat seorang difabel yang pernah mendapatkan perawatan di RS karena gangguan jiwa, dan masih mengkonsumsi obat, tidak diidentifikasi sebagai difabel. Juga terdapat lansia yang sudah tidak bisa melihat, namun tidak didata sebagai difabel netra,” kelakarnya.

Lebih lanjut Tri menyebut, sarana prasarana di sebagian besar lokasi TPS yang berada dalam pemantauan PP Aisyiyah sudah aksesibel, meskipun belum seluruhnya. Hal itu ditunjukkan dengan masih adanya TPS yang berada di lokasi yang berumput tebal, licin, berpasir, berkerikil, berlumpur, dan ada got pemisah.

“Misalnya saja, masih ada 5 persen (11 lokasi TPS) yang berada di tempat berundak yang tentu saja akan menyulitkan bagi difabel fisik maupun netra dalam menjangkau lokasi tersebut. Belum semua sarana dan prasarana di TPS aksesibel, masih ada meja pencoblosan yang tidak bisa dimasuki kursi roda di 31 TPS (36 persen), meja kotak suara terlalu tinggi sehingga kesulitan memasukkan surat suara di 57 TPS (69 persen), dan belum semua tersedia template braille,” papar Tri.

Tri menyebutkan, berkenaan dengan akomodasi yang layak bagi difabel di TPS, pihaknya menemukan belum semua petugas KPPS peduli dan responsif terhadap hambatan yang dialami oleh pemilih difabel. Kondisi itu tergambar dari situasi bahwa masih ada difabel tuli yang tidak menggunakan hak suaranya karena tidak tahu jika dipanggil petugas.

“Itu bisa terjadi karena minimnya pemberian informasi tentang tata cara pemungutan suara, dan minimnya ketersediaan juru Bahasa Isyarat. Juga kurangnya penggunaan komunikasi non verbal kepada difabel tuli, serta belum semua petugas menawarkan bantuan kepada difabel termasuk difabel mental dan intelektual dalam memberikan suaranya,” paparnya.

Meski, Tri memaparkan, kebanyakan difabel  membutuhkan pendamping dan seharusnya pendamping menandatangani surat pernyataan pendampingan (formulir C3). Sayangnya, di 56 persen (44 TPS) pendamping difabel tidak menandatangani C3.

“Catatan-catatan terkait inklusivitas dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 ini diharapkan bisa menjadi bahan evaluasi untuk pelaksanaan Pilkada yang akan segera berlangsung dalam beberapa bulan ke depan, maupun untuk pelaksanaan Pemilu selanjutnya,” tandasnya.(*)

Reporter: Ubay NA 

Editor: Aan Hariyanto

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer