MAKLUMAT — Lembaga Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia menyambut positif Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan Pemilu lokal/daerah.
Berdasarkan Putusan MK tersebut, Pemilu terpisah mulai berlaku pada 2029, dengan Pemilu nasional memilih Presiden/Wakil Presiden, DPR RI, dan DPD RI. Sedangkan Pemilu lokal/daerah untuk memilih Gubernur/Wakil Gubernur, DPRD Provinsi, Bupati/Wakil Bupati atau Wali Kota/Wakil Wali Kota, dan DPRD Kabupaten/Kota, digelar paling singkat dua tahun setelahnya.
Direktur DEEP Indonesia, Neni Nur Hayati, menilai putusan tersebut sebagai tonggak penting adalam perbaikan desain kelembagaan demokrasi di Indonesia, khususnya dalam menyusun sistem Pemilu yang lebih efektif, efisien, dan berkeadilan.
Mengakhiri Model Pemilu Lima Kotak
Pemisahan Pemilu nasional dan lokal tersebut sekaligus mengakhiri penyelenggaraan Pemilu serentak lima kotak yang telah berlaku pada tahun 2019 dan 2024.
“Dalam pandangan DEEP Indonesia, Pemilu serentak lima kotak seperti yang terjadi pada 2019 dan 2024 telah menciptakan beban administratif dan teknis yang luar biasa besar bagi penyelenggara Pemilu,” ujar Neni dalam pers rilis yang diterima Maklumat.ID, Jumat (27/6/2025).
Menurutnya, model Pemilu serentak lima kotak yang berlaku sebelumnya juga menyulitkan para pemilih untuk membuat pilihan yang rasional dan informasional, sebab mereka harus memilih lima jenis jabatan dalam satu kali masuk bilik, dengan jumlah kandidat atau calon yang juga sangat banyak.
Di sisi lain, partai politik juga kesulitan mempersiapkan calon legislatif dan eksekutif di berbagai tingkatan secara bersamaan, sehingga proses rekrutmen cenderung bersifat instan dan didasarkan pada popularitas semata.
“Kompleksitas inilah yang mendorong MK untuk menilai bahwa pelaksanaan pemilu serentak total tidak lagi relevan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan efektivitas penyelenggaraan negara,” jelas Neni.
DEEP Indonesia, dalam keterangannya, juga mencermati bahwa jadwal Pemilu 2024 yang memisahkan pemilu legislatif dan pilpres pada Februari dan pilkada pada November tanpa ada pengaturan hukum yang sesuai telah memperlihatkan tumpang tindih tahapan, kelelahan publik, serta potensi kejenuhan demokrasi.
“Penumpukan tahapan pemilu dan pilkada ini bukan hanya melelahkan bagi penyelenggara, tetapi juga mengganggu konsentrasi partai politik dan pemilih dalam menilai kualitas para calon. Dalam konteks ini, Putusan MK menjadi angin segar yang membuka ruang untuk mendesain ulang sistem kepemiluan nasional secara lebih sistematis, rasional, dan partisipatif,” sebutnya.
Desak Revisi UU Pemilu dan Pilkada Segera
Lebih lanjut, atas pemisahan Pemilu nasional dan lokal tersebut, DEEP Indonesia menegaskan bahwa: Pertama, Putusan MK itu tidak bisa berdiri sendiri. Revisi terhadap Undang-Undang (UU) Pemilu dan UU Pilkada menjadi hal yang mutlak dan mendesak secara terbuka, partisipatif, dan bebas dari kepentingan jangka pendek elite politik.
“Kedua undang-undang tersebut harus segera dibahas ulang secara menyeluruh, terintegrasi, dan menggunakan metode kodifikasi, agar tidak terjadi tumpang tindih aturan serta menciptakan sistem yang mudah dipahami oleh penyelenggara dan masyarakat,”
“Revisi ini juga perlu menetapkan desain waktu yang memadai antara pemilu nasional dan daerah, yakni dengan jeda minimal dua tahun dan maksimal dua setengah tahun sebagaimana dinyatakan dalam amar putusan MK. Dengan jeda tersebut, partai politik akan memiliki ruang yang cukup untuk mempersiapkan kader dan strategi politik secara lebih matang di tingkat lokal,”
Kedua, DEEP Indonesia mendorong DPR harus mencari cara paling tepat dalam menghadirkan Pemilu nasional dan daerah. Pemilu nasional digelar pada tahun 2029 sementara pemilihan lokal pada 2031, bagaimana proses transisi jabatan di tingkat lokal.
Jeda waktu 2029-2031 untuk DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota, jabatan gubernur, bupati, walikota apakah akan ada penunjukan untuk pelaksana tugas atau pejabat sementara atau memperpanjang masa jabatan. Namun jika hal ini terjadi juga harus diantisipasi ancaman baru terhadap prinsip mandat rakyat.
Ketiga, DEEP Indonesia memandang bahwa revisi sistem pemilu harus memperhatikan keberagaman kondisi sosial-politik di berbagai daerah, menjamin keterwakilan kelompok marjinal, serta memastikan bahwa pemilu bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan, melainkan ruang pendidikan politik dan artikulasi aspirasi rakyat.
Oleh karena itu, pembahasan revisi undang- undang harus dilakukan secara inklusif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan: penyelenggara pemilu, partai politik, masyarakat sipil, akademisi, kelompok perempuan dan pemilih muda, serta komunitas adat dan disabilitas. Dengan pendekatan partisipatif dan berbasis bukti, Indonesia dapat menghasilkan sistem pemilu yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil dan bermakna secara demokratis.
Keempat, DEEP Indonesia menilai bahwa pemisahan Pemilu nasional dan lokal/daerah bukan menjadi solusi yang tepat jika ternyata elite masih dominan.
“Putusan MK ini akan menjadi sia-sia jika hanya bergeser dari ‘serentak yang kacau‘ menjadi ‘terpisah yang tak berarti‘. DEEP menolak pendekatan kosmetik. Jika sistem elektoral tetap dikuasai elit partai dan calon-calon yang hanya kuat secara finansial, maka frekuensi pemilu yang lebih banyak hanya memperbesar ruang transaksi, bukan kualitas demokrasi,” sorotnya.
Pemisahan Pemilu membuka peluang untuk memulihkan kembali ruang kontestasi lokal yang selama ini terbenam oleh euforia nasional.
DEEP Indonesia melihat ini sebagai momentum strategis untuk mendorong munculnya pemimpin lokal berbasis rekam jejak, bukan popularitas instan. Namun ini tidak akan terjadi jika tidak dibarengi dengan reformasi politik partai di daerah dan pembatasan oligarki politik lokal.
“DEEP mendesak agar pemisahan ini tidak berhenti di jadwal teknis, tetapi harus menyentuh desain ulang sistem pemilu yang lebih adil. Termasuk sistem pencalonan, pendanaan politik, ambang batas pencalonan, dan pendidikan pemilih. Tanpa itu, yang terjadi hanya pengulangan siklus kerusakan lima tahunan yang lebih sering dan lebih mahal,” tandasnya.
Kelima, DEEP Indonesia berkomitmen untuk terus terlibat aktif dalam proses transisi dan reformasi sistem pemilu nasional dan daerah. Melalui riset, advokasi kebijakan, penguatan kapasitas masyarakat sipil, dan kerja sama dengan para pemangku kepentingan, DEEP akan mengawal perubahan ini agar berjalan secara transparan, terencana, dan berpihak pada rakyat.
“Putusan MK ini bukan akhir, melainkan awal dari upaya bersama mewujudkan demokrasi elektoral yang sehat, setara, dan berkelanjutan bagi masa depan Indonesia,” pungkasnya.