31.8 C
Malang
Senin, Oktober 7, 2024
OpiniDemokrasi Cawe-Cawe vs Demokrasi Pancasila?

Demokrasi Cawe-Cawe vs Demokrasi Pancasila?

Presiden Joko Widodo ketika memberikan keterangan pers.

PUBLIK dibuat terkejut dengan pernyataan Presiden Jokowi yang mengaku memang cawe-cawe dan tidak netral dalam politik 2024. Hal itu diungkapkan Jokowi di hadapan para pemimpin media di Istana Merdeka karena semata demi kepentingan bangsa dan tetap dalam koridor aturan perundangan.

Jokowi nampaknya meyakini, ikut cawe-cawe politik Pilpres akan memastikan kesinambungan kekuasaannya, sehingga agenda-agenda besar seperti IKN bisa berlanjut. Hal yang sebenarnya telah berbulan-bulan ini jadi polemik, namun pernyataan gamblang tersebut tetap saja membuat publik terkejut.

Tak ada yang salah dari pernyataan tersebut jika hanya diuji dengan pendekatan formal demokrasi, namun dapat menjadi soal ketika ditelaah dari hulu, dari moralitas politik dan nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

Mengapa demikian? Karena teknikalitas berdemokrasi yang diatur oleh peraturan perundangan itu tidak lah hadir dari ruang hampa, melainkan memiliki sandaran filosofis dan historis, yaitu falsafah politik Pancasila dan pengalaman panjang bangsa ini dalam mencari format terbaik dalam politik dan berdemokrasi.

Pancasila bukan lah filsafat ilmu, melainkan filsafat praktis (etika), karena bersumber dari kepribadian bangsa yang digali oleh para founding fathers kita, sehingga akan senantiasa kompatibel dalam bidang apapun, termasuk dalam penyelenggaraan politik dan kekuasaan pada masa kini.

Lalu, benarkah etika politik Pancasila hanya mensyaratkan azas legalitas (legitimasi hukum) semata tanpa mempertimbangkan legitimasi demokrasi dan legitimasi moral?

Dasar negara kita, Pancasila dengan terang telah menggariskan, bahwa semua praksis berbangsa dan bernegara termasuk dalam ruang politik, harus selalu mengacu pada azas ketuhanan, berkemanusiaan, adil dan beradab, mengedepankan persatuan, menjalankan prinsip-prinsip demokrasi (permusyawaratan dan perwakilan), serta berkeadilan sosial.

Mengesampingkan moral politik dalam berdemokrasi hanya akan memundurkan kembali demokrasi Indonesia. Terlebih, praktik politik seperti ini sudah teramat ketinggalan zaman, sejak ditelurkan Niccolo Machiavelli pada abad ke-15, pemikiran politik yang disimbolkan dengan kombinasi rubah dan singa ini tak lagi punya pendukung, setidaknya tak pernah secara terbuka.

Presiden Jokowi seyogyanya tetap lah tegak di tengah, mengedepankan kepentingan bangsa jauh lebih penting ketimbang sekedar kesinambungan kekuasaan. Seperti idiom Jawa yang demikian populer: ‘”Meninggalkan takhta secara sukarela untuk kemudian hidup sebagai begawan yang mulia nan bijaksana.”

Sikap kenegarawanan justru lebih menjamin, legacy dua periode pemerintahannya akan diteruskan siapapun penggantinya kelak. (*)

Ton Abdillah Has, Penulis adalah Pemerhati Politik dan Mantan Ketum DPP IMM

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer