MANTAN Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin menyarankan agar ormas keagamaan yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada tahun 1912 tersebut menolak tawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dari pemerintah.
“Saya mengusulkan kepada PP Muhammadiyah untuk menolak tawaran Menteri Bahlil atau Presiden Joko Widodo itu. Pemberian itu lebih banyak mudharat daripada maslahatnya,” ujar Din dalam keterangan tertulis, Selasa (4/6/2024).
Din menilai, Muhammadiyah harus menjadi penyelesai masalah-masalah bangsa dan bukan sebaliknya menjadi bagian dari permasalahan itu sendiri (a part of the problem).
“Pemberian konsesi tambang untuk ormas keagamaan seperti bisa jadi akan dinilai positif sebagai bentuk perhatian pemerintah kepada mereka,” jelasnya.
Namun, kata Din, pemberian WIUPK tersebut disinyalir sarat akan motif kepentingan. Sebab, pemerintah terkesan ingin mengambil hati para pegiat ormas keagamaan.
Din Syamsuddin pun berharap pemerintah melakukan aksi keberpihakan atau affirmative actions dengan menciptakan keadilan ekonomi dan tidak hanya memberi konsesi kepada pihak tertentu.
Ada beberapa masalah yang disoroti dari pemberian WIUPK, pertama pemberian konsesi tambang batu bara kepada NU dan Muhammadiyah tetap tidak seimbang dengan jasa dan peran kedua Ormas Islam itu, dan tetap tidak seimbang dengan pemberian konsesi kepada perusahan-perusahaan yang dimiliki oleh kelompok segelintir penguasa ekonomi.
“Dunia minerba Indonesia dikuasai oleh beberapa perusahaan saja. Sumber daya alam Indonesia sungguh “dijarah secara serakah” oleh segelintir orang yang patut diduga berkolusi dengan pejabat,” tuturnya.
Masalah kedua, pemberian tambang batu bara dilakukan di tengah protes global terhadap energi fosil sebagai salah satu penyebab perubahan iklim dan pemanasan global.
“Saya diminta mewakili Islam meletakkan petisi kepada Sekjen PBB agar pada 2050 tidak ada lagi energi fosil. Maka, besar kemungkinan yang akan diberikan kepada NU dan Muhammadiyah adalah sisa-sisa dari kekayaan negara,” ujarnya.
Ketiga, pemberian tambang “secara cuma-cuma” kepada NU dan Muhammadiyah potensial membawa jebakan. Dia menyebut, sistem tata kelola tambang dengan menggunakan sistem IUP dan Kontrak Karya adalah sistem zaman kolonial berdasarkan Undang-Undang Pertambangan Indische Mijnwet yang dilanggengkan dengan Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009 dan Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020.
“Sistem IUP ini tidak sesuai konstitusi,” tandas Din.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 yang di dalamnya memuat terkait diperkenankannya ormas keagamaan untuk mengelola tambang mineral dan batu bara.
Reporter: Ubay NA
Editor: Aan Hariyanto