MAKLUMAT — Pengamat Sosial Politik yang juga mantan Kepala Bappeprov Jawa Timur, Ir Hadi Prasetyo, mengungkapkan setidaknya ada empat tingkatan kejahatan korupsi kerah putih yang umumnya terjadi dan menjangkiti berbagai struktur birokrasi maupun organisasi.
Kejahatan kerah putih sendiri merupakan istilah yang dipopulerkan oleh Edwin Sutherland pada tahun 1939, merujuk pada tindak kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki status sosial tinggi dan dilakukan berkaitan dengan pekerjaannya.
Menurut Hadi, kejahatan kerah putih adalah tindak kriminal yang dilakukan secara non-fisik. Korupsi, kata dia, adalah salah satu bagian dari kejahatan kerah putih.
“Kejahatan kerah putih itu artinya semua kejahatan yang tidak ada kekerasan fisik, jadi dia lebih ke administrasi, hal-hal yang sifatnya non-fisik,” ujarnya dikutip dari siaran Maklumat Podcast pada Jumat (20/6/2025).
Hadi menilai, praktik korupsi kerah putih pasti berkaitan erat dengan manipulasi.
“Korupsi di kerah putih itu enggak lepas dari manipulasi. Keinginan korupsi itu membangkitkan manipulation, dan manipulasi sendiri itu akhirnya menjadi alat untuk korupsi,” jelasnya.
Empat Level Kejahatan Korupsi Kerah Putih
Lebih lanjut, Hadi berpendapat bahwa kejahatan korupsi kerah putih setidaknya dapat diklasifikasikan dalam empat tingkatan.
Pertama, kelas paling bawah atau yang disebutnya sebagai petty corruption alias korupsi kecil-kecilan. Menurut dia, korupsi kerah putih pada tingkat ini dilakukan oleh orang dengan status dan kewenangan tertentu, namun secara individu dan untuk dirinya sendiri, tanpa melibatkan struktur dan relasi yang terlalu kompleks.
Kelas kedua, kata Hadi, adalah yang disebut dengan corporate white collar crime, yang menurutnya dilakukan oleh elemen-elemen perusahaan di tingkat menengah, seperti manajer atau semacam dan setingkatnya.
“Kemudian (ketiga) masih di corporate ini, tapi bisa sampai di tingkatan atau level di atasnya, itu juga masih pada corporate, tapi bukan (di level korupsi kerah putih) yang paling tinggi,” sambungnya.
Keempat, Hadi menyebut istilah grand white collar crime untuk mengasosiasikan korupsi kerah putih pada level atau tingkatan paling atas, paling merusak, dan paling kompleks.
“(Di grand white collar crime) itu sudah mencakup pimpinan. Kalau diibaratkan perusahaan, maka itu sudah dilakukan di tingkat CEO, komisaris, dan sebagainya,” terangnya.
Dan yang mengerikan, bahwa pada tingkatan tersebut tidak bisa dilakukan sendirian. Hadi meyakini bahwa korupsi kerah putih di level ini pasti memiliki ‘pasangan’ yang senantiasa membantu bahkan melindungi.
“White collar crime di tingkat itu tidak bisa berdiri sendiri, yang tingkat tinggi tadi, ada pasangannya. Nah pasangannya itu biasanya adalah otorita yang mempunyai kewenangan. Itu juga bisa kalau sudah tingkat tinggi itu bisa di tingkat menteri dan semacamnya,” tandas Hadi.