25.4 C
Malang
Sabtu, Juli 27, 2024
KilasHaedar Nashir: Tidak Boleh Ada Dikotomi Pemimpin Nasionalis dan Agamis dalam Pemilu...

Haedar Nashir: Tidak Boleh Ada Dikotomi Pemimpin Nasionalis dan Agamis dalam Pemilu 2024

Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir.

KETUA umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Haedar Nashir menyebut pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024 sebagai harapan publik tentang demokrasi yang substantif, dengan prinsip luber, jurdil, dan beretika, bermartabat, serta berlandaskan nilai luhur Pancasila.

Haedar menegaskan, Pemilu tidak sekadar suksesi atau pergantian pemimpin semata. Lebih dari itu Pemilu juga harus mewujudkan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang sejalan dengan Konstitusi 1945. Sehingga, pemimpin yang terpilih nantinya berkewajiban mewujudkan perikehidupan Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur serta membawa negara dan bangsa berkemajuan jiwa dan raganya.

“Para kontestan, khusus untuk Pilpres, berdemokrasi secara cerdas dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip bernegara yang benar berbasis Pancasila, agama, dan kebudayaan luhur bangsa,” ungkap Haedar dalam Kuliah Umum di Fakultas Hukum UII, Kamis (7/9/2033). Kegiatan membincangkan tentang Keislaman dan Kebangsaan “Suksesi Kepemimpinan: Mencari Pemimpin yang Nasionalis dan Agamis”.

Haedar memandang, kepemimpinan nasionalis dan agamis tidak bisa di dikotomi. Karena antara agama dan nasionalisme sudah mendarah daging pada setiap bangsa Indonesia. Kedua entitas tersebut bisa saling koheren untuk menciptakan kemaslahatan di manapun  insan itu berada.

“Nilai-nilai dasar Islam itu sejatinya telah memiliki kerangka dasar yang penting tapi bersifat umum. Tinggal bagaimana setiap muslim itu hidup dalam kesamaan maupun keragaman berbasis pada nilai-nilai adil, amanah, kemudian ta’aruf, tasamuh, tawasuth dan berbagai nilai lainnya,” ungkapnya seperti dilansir dalam muhammadiyah.or.id

Melihat bangsa Indonesia dan sejarah panjangnya, Haedar menyebut, sudah terbangun relasi antara prinsip-prinsip nasionalis dan agamis. Baik relasi secara sosiologi maupun ideologis. Maka dalam pandangannya antara Keindonesiaan dan Keislaman berada dalam satu tarikan nafas. Satu kesatuan untuk memajukan bangsa dan negara baik jiwa maupun raganya.

Terkait relasi agama dan negara, Muhammadiyah memiliki pandangan Indonesia sebagai Negara Pancasila Darul Ahdi Wasy Syahadah. Pandangan ini merupakan jawaban dari Muhammadiyah dalam menyikapi kemajemukan yang ada di tubuh bangsa ini. Sekaligus sebagai worldview bagi warga Persyarikatan Muhammadiyah ketika dihadapkan dalam dua entitas, agama dengan negara.

Guru Besar Sosiologi ini menjelaskan, politik sepenuhnya masuk dalam muamalah. Maka berbangsa dan bernegara sepenuhnya adalah wilayah ijtihad, bahkan sistem politik islam itu sendiri sepenuhnya merupakan wilayah ijtihad. Maka berlaku kaidah hukum semuanya boleh, sampai kemudian ada dalil yang melarangnya.

“Maka kalau sekarang dunia islam beragam sistem politiknya itu memang wilayah ijtihad dan al Qur’an sendiri tidak memastikan sebuah sistem yang tunggal,” ungkap Haedar.

Oleh karena itu, meskipun Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim tetapi Agama Islam tidak ‘dinegerikan’. Namun demikian, tokoh-tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo dan lain-lainnya berperan penting dalam merumuskan negara dan memerdekakan bangsa Indonesia. Bahkan disetujuinya Pancasila sebagai filosofi negara adalah hasil kompromi tokoh-tokoh Muhammadiyah. (*)

Reporter: Ubay NA

Editor: Aan Hariyanto

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sponsor

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer