IMM Surabaya Sebut Relokasi RPH Pegirian ke TOW sebagai Tragedi Kebijakan

IMM Surabaya Sebut Relokasi RPH Pegirian ke TOW sebagai Tragedi Kebijakan

MAKLUMATPimpinan Cabang (PC) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kota Surabaya mengkritik keras kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya terkait relokasi Rumah Potong Hewan (RPH) Pegirian ke daerah Tambak Osowilangun (TOW). IMM Surabaya menyebut bahwa relokasi ini sebagai tragedi kebijakan. Menurut mereka, ini adalah kebijakan top-down yang dipaksakan.

“Keputusan ini tidak hanya memutus rantai sejarah panjang pusat ekonomi di Surabaya Utara, tetapi juga menciptakan rangkaian ancaman baru yang menyasar langsung pada keselamatan pekerja, stabilitas harga pangan, hingga jaminan higienitas daging yang dikonsumsi oleh jutaan warga kota,” ujar Moch Rafiansyach, Direktur Umum Korps Saudagar Muda Muhammadiyah (Gardamu) IMM Surabaya, Selasa (23/12/2025).

Rafian —sapaan akrabnya— menjelaskan bahwa a​kar masalah ini sebenarnya bermula dari ketiadaan dialog partisipatif yang melibatkan para jagal sebagai pemangku kepentingan utama. Sejak awal, rencana relokasi ini terkesan dilakukan secara terburu-buru demi mengejar ambisi penataan estetika kota semata. Adapun bagi para jagal, Pegirian bukan sekadar gedung tua, melainkan episentrum distribusi yang sangat strategis.

“Dari titik ini, daging segar dapat menjangkau pasar-pasar besar di tengah dan timur kota hanya dalam hitungan menit, memastikan kualitas protein hewani tetap terjaga hingga ke tangan konsumen,” ujarnya. Ia juga menyebut bahwa ​langkah Pemkot Surabaya ini menunjukkan wajah kebijakan yang anti-dialog dan cenderung mementingkan aspek fisik perkotaan daripada keberlangsungan ekonomi masyarakat bawah.

Sebelumnya, Pemkot Surabaya telah secara bertahap melakukan relokasi sejak awal bulan Juni 2025. Kebijakan tersebut lantas mendapatkan sejumlah penolakan. Para jagal, tokoh masyarakat, hingga warga Pegirian terus menyuarakan penolakan keras atas rencana pemindahan operasional RPH. Mereka menegaskan tidak bersedia dipindahkan ke lokasi lain.

Baca Juga  Operasi Gabungan Gagalkan Peredaran 1,4 Juta Rokok Ilegal

Ancam Ekonomi dan Nyawa

Rafian menjelaskan bahwa relokasi​ sepihak ini adalah bentuk nyata dari pengabaian terhadap hak-hak ekonomi pedagang kecil. Menurutnya, pemerintah seharusnya menjadi pelindung bagi ekosistem ekonomi rakyat yang sudah mapan di Pegirian, bukan malah mencabut mereka dari akarnya tanpa solusi logistik yang masuk akal.

Direktur Umum Gardamu IMM Surabaya, Moch Rafiansyach

Ia menyebut bahwa relokasi sepihak ini adalah pemaksaan beban ekonomi yang akan berujung pada inflasi harga pangan bagi warga Surabaya. Terlebih​, dengan dipindahnya operasional ke ujung barat Surabaya, efisiensi yang telah terbangun selama puluhan tahun itu seketika hancur lebur.

“Jarak yang bertambah hingga belasan kilometer secara otomatis memicu pembengkakan biaya bahan bakar dan biaya perawatan armada angkut yang tidak sedikit, yang pada akhirnya akan dipikul oleh masyarakat lewat kenaikan harga daging di pasar-pasar tradisional,” tegas Rafian.

Rafian juga menyebut bahwa k​eresahan ekonomi warga kian diperparah dengan ancaman keselamatan yang nyata di lapangan. Relokasi ini akan membuat ribuan pekerja yang terkait dengan RPH untuk memindahkan aktivitasnya ke TOW. Hal ini berarti memaksa mereka bertarung nyawa di jalur logistik paling berbahaya di Surabaya. Jalur tersebut bahkan selama ini dikenal sebagai “jalur tengkorak” yang didominasi oleh truk kontainer dan kendaraan berat antarprovinsi.

“Para jagal yang biasanya mulai bergerak membawa dagangan pada dini hari atau subuh, saat kondisi fisik berada di titik lelah dan visibilitas jalan terbatas. Namun kini harus bersaing ruang dengan raksasa-raksasa jalanan. Ketakutan akan kecelakaan lalu lintas yang fatal bukan lagi sekadar kekhawatiran tanpa alasan, melainkan risiko harian yang kini menghantui setiap keluarga pekerja RPH di Surabaya,” jelasnya.

Baca Juga  Muhammadiyah Gandeng VIDA, Hadirkan Sistem Identitas Digital e-KTAM

Kekhawatiran Higienitas Pangan

Rafian juga menyebut bahwa ada sebuah ironi besar menyeruak terkait standar kesehatan dan higienitas pangan. Ia mempertanyakan, bagaimana mungkin Pemkot Surabaya yang selalu menggaungkan sertifikasi halal dan kesehatan veteriner, justru menempatkan fasilitas pemotongan hewan utama berdampingan langsung dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Benowo.

Ia menjelaskan bahwa secara teknis, RPH adalah fasilitas medis-pangan yang menuntut tingkat sterilitas tinggi. Maka penempatan RPH yang sangat dekat dengan gunung sampah kota merupakan sebuah kecerobohan perencanaan yang luar biasa. Paparan polusi udara, bau busuk yang menyengat, serta risiko serangan vektor penyakit seperti lalat dan bakteri dari TPA Benowo secara langsung mengancam kualitas daging yang diproduksi.

“Alih-alih mendapatkan fasilitas yang lebih modern dan higienis sesuai janji relokasi, para jagal justru merasa dipindahkan ke lingkungan yang sangat kumuh untuk ukuran sebuah industri pangan,” ujarnya.

Sebelumnya, IMM Surabaya dalam temuannya di lapangan menyebutkan bahwa telah terjadi gelombang protes yang berpotensi melumpuhkan aktivitas pemotongan hewan di Surabaya. Rafian menyebut hal ini adalah bukan sekadar aksi mogok kerja biasa, melainkan sebuah kulminasi dari kekecewaan mendalam terhadap kebijakan Pemkot Surabaya yang dianggap menutup telinga dari suara rakyat kecil.

Rafian menambahkan bahwa d​ampak dari kebijakan yang terkesan “tutup telinga” ini diprediksi akan menciptakan efek domino yang sangat mengerikan bagi ketahanan pangan kota. Jika aksi mogok kerja ini terus berlanjut tanpa solusi yang adil, Surabaya akan menghadapi kelangkaan daging sapi yang memicu kepanikan pasar.

Adapun dampak jangka panjangnya jauh lebih mengkhawatirkan. Seperti munculnya praktik jagal liar di pemukiman penduduk sebagai alternatif karena akses ke RPH resmi dianggap terlalu jauh, mahal, dan tidak aman secara kesehatan. Jika pemotongan liar marak kembali, maka pengawasan dokter hewan terhadap penyakit kuku dan mulut (PMK) atau penyakit zoonosis lainnya akan hilang sepenuhnya.

Baca Juga  Sinergi UMY dan BPJS Ketenagakerjaan Wujudkan Perlindungan Sosial untuk Petani

“Pada akhirnya, warga Surabaya yang menjadi korban paling akhir, terpaksa mengonsumsi daging yang tidak terjamin keamanannya sementara pemerintah sibuk dengan urusan penataan fisik tanpa mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan kesehatan publik secara utuh,” jelasnya.

Tuntutan IMM Surabaya

​Sebagai bentuk negosiasi yang terarah kepada Pemkot Surabaya, sejumlah poin-poin tuntutan diajukan IMM Surabaya untuk memecah kebuntuan. Poin-poin tuntutan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, e​valuasi lokasi dan mitigasi polusi. IMM Surabaya mendesak pemerintah untuk melakukan audit lingkungan independen mengenai dampak kedekatan RPH dengan TPA Benowo, serta menuntut adanya teknologi penyaring udara dan sterilisasi area untuk menjamin daging tetap higienis.

Kedua, s​ubsidi logistik transisi: IMM Surabaya meminta adanya subsidi bahan bakar atau keringanan pajak retribusi selama masa transisi sebagai kompensasi atas pembengkakan biaya jarak tempuh dari TOW ke pasar-pasar utama.

Ketiga, j​aminan keamanan jalur logistik: IMM Surabaya menuntut adanya pengaturan lalu lintas khusus atau penyediaan jalur aman bagi kendaraan pedagang daging pada jam-jam operasional RPH (dini hari) untuk meminimalisir kecelakaan dengan truk kontainer.

Keempat, o​ptimalisasi fungsi Pegirian: IMM Surabaya mengusulkan agar Pegirian tetap difungsikan sebagai “Hub Distribusi” atau pasar daging sentral, sehingga pemotongan dilakukan di TOW, namun distribusi tetap terkendali di lokasi lama untuk menjaga harga tetap stabil.​

*) Penulis: M Habib Muzaki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *